Dilematika Awan dan Samudra (Vers. 1)


Samudra mengamuk. Laut yang tenang tiba-tiba membadai. Awan tak berkutik. Hanya bisa diam menatap Samudra dari kejauhan. Seperti yang dulu-dulu. Awan hanya bisa menatap Samudra dari kejauhan. Dan Samudra tidak pernah sadar, betapa Awan mengaguminya dalam diam. Mengamati kala Samudra riak, tenang, maupun bergelombang. 


Sebab Samudra selalu mengagumi Pelangi. Sekalipun di langit ada awan maupun siluet, tatapan Samudra hanya tertuju pada Pelangi. Meskipun Pelangi hanya bisa muncul sesekali. Pelangi juga tak terlalu mengindahkan Samudra. Pelangi direpotkan banyak hal di kahyangan, dan hanya datang saat hujan telah usai. 

Sejak itu Awan pun berkaca. Awan tak mungkin menggantikan posisi Pelangi di hati Samudra. Pelangi terlalu indah untuk ditiru. Awan memang memiliki kemampuan untuk meniru bentuk apapun, tetapi tidak bisa menghadirkan warna. Pelangi memiliki banyak warna yang awan tak punya.
Maka Awan kemudian menghibur diri dengan berkelana. Seperti yang sudah-sudah. Awan berusaha menjauhi laut. Awan naik ke Gunung, padang pasir, menuruni lembah. Awan berusaha menjauhkan diri dari Samudra. Di perjalanan, Awan bertemu pengembara. Pengembara mengajak Awan bertualang bersamanya. Jauh di lubuk hatinya Awan membatin,”mengapa bukan Samudra yang mengajaknya mengembara bersama?” Tetapi Awan berusaha menepis rasa.  Samudra dan Awan memang tak diciptakan untuk bersatu. Terlalu panjang jarak membentang. 

Tetapi kemudian Samudra memanggilnya kembali. Samudra butuh teman untuk bercerita. Awan bergegas meninggalkan pengembara. Lagipula sebenarnya pengembara tak terlalu butuh awan. Dan Awan bahagia, bahagia meski hanya sekadar menatap Samudra yang berbinar-binar menceritakan kisahnya dengan Pelangi. Bagi Awan, melihat Samudra bersemangat saja sudah cukup. Langit mengatakan Awan bodoh, tapi Awan tak peduli. Sementara Hujan, selalu mendoakan Awan dan Samudra bersatu. Sebab nothing is impossible. Awan hanya bisa tersenyum, tetapi mengaminkan doanya dalam hati.  Awan tahu, ia tak patut berharap banyak. Pesona Pelangi menutupi pandangan Samudra. Pelangi selalu terlihat indah, sementara Awan selalu berubah bentuk. 

Semakin mengenal Awan, Samudra pun tahu ternyata Awan hanya punya dua warna: hitam dan putih. Awan tak selalu menenangkan jika dipandang. Samudra tak bisa terima jika awan menghitam. Samudra ingin awan selalu putih. Padahal, hanya jika menghitam lah awan bisa mengecup Samudra dengan cara turun dalam rintik. Entah mengapa, Langit juga menuduh Awan memanipulasi rasa Samudra pada Pelangi. Langit menusuk Awan dengan sabda, “pagar memakan tanaman.” Padahal Awan tidak pernah tega bila Pelangi tersakiti. Perlahan Awan merasa tertekan. Memang sejak Samudra lebih sering bersama Awan, Pelangi jadi jarang muncul. 

Awan pun mulai menuntut Samudra mengumumkan kebersamaan mereka karena ingin tahu respon Pelangi yang sebenarnya. Jika ternyata Pelangi benar-benar mencintai Samudra, Awan akan mundur. Sebab bagi Awan, kebahagiaan Samudra jauh lebih penting. Namun Samudra tak mau. Samudra tak peduli apa yang dirasakan Awan,  baginya Awan hanya sedang baper. Sementara Awan mulai menganggap Samudra tidak punya perasaan. Samudra tak pernah benar-benar mencintai Awan. Awan hanya menjadi bayang-bayang. 

Lama kelamaan Awan merasa dituntut untuk menjadi Pelangi. Awan menjadi pemurung, dan sering menghitam. Kilat di langit menyambar-nyambar dengan dahsyat. Karena itulah, Samudra pun mengamuk. Menatap Awan dengan benci. Sedangkan Awan, semakin takut kehilangan Samudra untuk kesekian kali. Cintanya pada Samudra menjadikannya buta dan khawatir berlebihan.

0 komentar: