Samudra mengamuk. Laut yang tenang tiba-tiba membadai. Awan tak
berkutik. Hanya bisa diam menatap Samudra dari kejauhan. Seperti yang dulu-dulu.
Awan hanya bisa menatap Samudra dari
kejauhan. Dan Samudra tidak pernah sadar, betapa Awan mengaguminya dalam
diam. Mengamati kala Samudra riak, tenang, maupun bergelombang.
Sebab Samudra selalu mengagumi Pelangi. Sekalipun di langit
ada awan maupun siluet, tatapan Samudra hanya tertuju pada Pelangi. Meskipun Pelangi
hanya bisa muncul sesekali. Pelangi juga tak terlalu mengindahkan Samudra. Pelangi
direpotkan banyak hal di kahyangan, dan hanya datang saat hujan telah usai.
Sejak itu Awan pun berkaca. Awan tak mungkin menggantikan posisi
Pelangi di hati Samudra. Pelangi terlalu indah untuk ditiru. Awan memang
memiliki kemampuan untuk meniru bentuk apapun, tetapi tidak bisa menghadirkan
warna. Pelangi memiliki banyak warna yang awan tak punya.
Maka Awan kemudian menghibur diri dengan berkelana. Seperti yang
sudah-sudah. Awan berusaha menjauhi laut. Awan naik ke Gunung, padang pasir, menuruni
lembah. Awan berusaha menjauhkan diri dari Samudra. Di perjalanan, Awan bertemu
pengembara. Pengembara mengajak Awan bertualang bersamanya. Jauh di lubuk
hatinya Awan membatin,”mengapa bukan Samudra yang mengajaknya mengembara
bersama?” Tetapi Awan berusaha menepis rasa. Samudra dan Awan memang tak diciptakan untuk
bersatu. Terlalu panjang jarak membentang.
Tetapi kemudian Samudra memanggilnya kembali. Samudra butuh
teman untuk bercerita. Awan bergegas meninggalkan pengembara. Lagipula sebenarnya
pengembara tak terlalu butuh awan. Dan Awan bahagia, bahagia meski hanya
sekadar menatap Samudra yang berbinar-binar menceritakan kisahnya dengan
Pelangi. Bagi Awan, melihat Samudra bersemangat saja sudah cukup. Langit mengatakan
Awan bodoh, tapi Awan tak peduli. Sementara Hujan, selalu mendoakan Awan dan
Samudra bersatu. Sebab nothing is
impossible. Awan hanya bisa tersenyum, tetapi mengaminkan doanya dalam
hati. Awan tahu, ia tak patut berharap
banyak. Pesona Pelangi menutupi pandangan Samudra. Pelangi selalu terlihat
indah, sementara Awan selalu berubah bentuk.
Semakin mengenal Awan, Samudra pun tahu ternyata Awan hanya
punya dua warna: hitam dan putih. Awan tak selalu menenangkan jika dipandang. Samudra
tak bisa terima jika awan menghitam. Samudra ingin awan selalu putih. Padahal,
hanya jika menghitam lah awan bisa mengecup Samudra dengan cara turun dalam
rintik. Entah mengapa, Langit juga menuduh Awan memanipulasi rasa Samudra pada
Pelangi. Langit menusuk Awan dengan sabda, “pagar memakan tanaman.” Padahal Awan
tidak pernah tega bila Pelangi tersakiti. Perlahan Awan merasa tertekan. Memang
sejak Samudra lebih sering bersama Awan, Pelangi jadi jarang muncul.
Awan pun mulai menuntut Samudra mengumumkan kebersamaan
mereka karena ingin tahu respon Pelangi yang sebenarnya. Jika ternyata Pelangi
benar-benar mencintai Samudra, Awan akan mundur. Sebab bagi Awan, kebahagiaan Samudra
jauh lebih penting. Namun Samudra tak mau. Samudra tak peduli apa yang
dirasakan Awan, baginya Awan hanya
sedang baper. Sementara Awan mulai menganggap Samudra tidak punya perasaan. Samudra
tak pernah benar-benar mencintai Awan. Awan hanya menjadi bayang-bayang.
Lama kelamaan Awan merasa dituntut untuk menjadi Pelangi. Awan
menjadi pemurung, dan sering menghitam. Kilat di langit menyambar-nyambar
dengan dahsyat. Karena itulah, Samudra pun mengamuk. Menatap Awan dengan benci.
Sedangkan Awan, semakin takut kehilangan Samudra untuk kesekian kali. Cintanya pada
Samudra menjadikannya buta dan khawatir berlebihan.
0 komentar: