::Jilbab HTI, Jilbab HMI, Jilbab PKS, Jilbab NU, … Jilbab - Jilbaban::

May 27, 2013 at 9:14am

Kajilah aliran - aliran yang ada dan carilah kebenaran dengan pengkajian mendalam…  Janganlah engkau menjadi pengikut buta yang mengikuti seorang Imam yang menunjukkan jalan. Disekitar engkau terdapat ribuan Imam yang menyerumu, menghancurkanmu, dan menyesatkanmu dari jalan yang lurus. Jika engkau bersikap mengekor, akhirnya engkau akan merasa kelaliman imam mu. Barangsiapa yang tak pernah meragukan maka ia tak pernah memperhatikan. Barangsiapa yang tak pernah memperhatikan maka ia tak pernah melihat. Barangsiapa yang tak pernah melihat maka ia akan selamanya ada dalam kebutaan dan kesesatan. __ Al Gazhali dalam Mizan al-Amal.


Dengan neraca apa kita mengukur derjat ketaqwaan seorang muslimah? Dari lebar jilbabnya kah?
Saya pernah dicap bid'ah dan sesat oleh seorang _konon Jilbaber_ hanya karena saya sering membaca buku - buku Feminis dan Salman Rusdhie.

Sudah lama saya mempertimbangkan penulisan catatan singkat ini; akankah ini nantinya tidak akan menambah masalah dengan semakin banyaknya orang yang antipati terhadap jilbab, misalnya.  Tapi saya yakin orang - orang yang ditakdirkan membaca note ini merupakan orang - orang yang kritis dan tidak suka langsung menjudge hanya dari opini kelas teri _orang seperti saya_ tanpa kembali mengkaji ulang dengan pikiran dan hati lapang.

Pertama kali saya memakai  jilbab, sewaktu SD. Jilbab yang saya kenal waktu itu definisinya simpel, penutup kepala tinggal sorong yang dipakai setiap hari Jum'at sepaket dengan baju kurung hitam putih.

Selanjutnya, dikarenakan perda Sumbar waktu itu bahwa anak2 SMP dan SMA wajib memakai jilbab ke sekolah, dan saya taat peraturan karena menurut saya itu baik. Sampai disini, perkenalan saya dengan jilbab tak membawa masalah. Saya tak mengalami masa - masa jilbab dilarang orangtua __Papa malah "mensyaratkan dengan halus" untuk memakai jilbab kalau sudah baligh_,saya juga tak diusir dari sekolah seperti teman - teman saya diluar Padang, misalnya. Maka saya berjilbab dengan enjoy. Jilbab  dalam pengertian saya waktu itu masih kerudung penutup kepala ditambah sedikit: diulurkan sampai dada.

Suatu pertanyaan di otak saya mulai muncul ketika kelas 2 SMP, rupanya beberapa teman saya berbeda ukuran jilbabnya,agak dalaman dikit dibanding yang lain, unik lah. Berhubung saya memang orang yang "penasaranan", saya mulai tanya -tanya, itu ajaran apa pula. He2.

Saya ikut mereka karena mereka teman baik - baik (penilaian anak SMP memang tak salah, hingga kini mereka tetap orang baik - baik dan tetap open-minded), kita ada pengajian sekali seminggu, karena itu kemudian saya pun aktif organisasi Assosiasi Pelajar Islam se - Sumbar.
Jilbab (alias kerudung) saya masih begitu - begitu juga sih, tak dalam - dalam amat, tapi juga tak singkat - singkat amat.

Tapi kemudian jilbab alias kerudung ini mulai membawa masalah ketika saya kelas 3 SMP dan modelnya saya panjangkan sedikit. Itu juga dikarenakan Prestasi saya menurun karena saya lebih mementingkan urusan organisasi _sesuai tudingan waktu itu, Assalam yang kena getahnya, padahal selain di Assalam saya aktif di Pramuka juga_ . Terus, mungkin karena saking semangatnya saya menerapkan ilmu - ilmu agama yang saya dapat, saya _katanya_berubah extremely, sedikit kaku lah. Pakaian saya hanya terdiri dari 3 warna kalau tak salah: hitam, cokelat, biru donker. Adik saya mulai menganggap saya " aneh", padahal di pesantrennya diajarkan berjilbab gak gitu2 amat. Kalau dulu biasanya saya suka bergelut dengan sepupu laki - laki, semenjak jilbab saya 'agak dalam', sekedar salaman pun saya ogah tanpa menjelaskan pada dia mengapa saya berubah sikap. Dus, Sebenarnya bukan anti, tapi ya karena sibuk "memperbaiki diri" saja, maka saya pun tidak punya waktu lagi utk main sama beberapa kawan yang menurut saya waktu itu kerjaannya 'main2 doank', misal: kawan2 Band (sorry ya Coy). Lagipula dikampung saya waktu itu seukuran anak SMP belum ada yang berjilbab kecuali hanya untuk pergi ke sekolah. Jilbab hanya untuk emak - emak minimal seumuran Ummi. Maka keluarga besar mulai 'menghitam-hitamkan' jilbab saya.

Mamak - mamak : "anak Buya pasti telah ikut aliran sesat, anak SMP masih labil, mudah dipengaruhi. Mungkin dia telah ikut tarekat atau malah aliran menyimpang?
Etek - etek: "berjilbab kok malah jadi mengerikan, kamu tampak lebih tua dari umurmu! Lagipula dirumah itu tidak wajib berjilbab, di depan pak etek, pak wo tak wajib berjilbab. Bu Hajjah saja ke warung tak berjilbab, pakai sebo saja" (dirumah saya memang tak berjilbab, tapi kalau tamu - tamu papa tiba - tiba datang, saya langsung pontang - panting mencari jilbab)
Sepupu: Halaaaah sok mah! Padahal perangaimu begitu - begitu jua, tak berubah!

Untung saja, Papa dan Ummi  tak turut serta mem - bully :
"Akak yakin dengan yang akak pakai?"
"ya Pa"
"Akak tau, banyak orang - orang berjilbab akhirnya melepaskan jilbab karena tak tahan dikatai orang banyak?"
"ya Mi"
"mengapa Akak tak berjilbab seperti jilbab Ummi saja?" (jilbab versi Ummi_dulu: kerudung tipis yang kadang masih menampakkan leher)
"Akak merasa tak nyaman. Ke sekolah dengan jilbab seperti itu, kalau digoyang angin saja jadi keliatan leher dan rambut, Ummi"
"Satu saran Ummi: jangan berlebih - lebihan. Iringi dengan laku baik, sehingga tak menjadi nila yang merusak susu sebelanga"

Nah! Itu dia yang kurang dari saya jaman SMP. Sudah berjilbab masih saja jejingkrakan dan ketawa cekikikan, sudah berjilbab masih saja temperamen dan suka marah2 sama adek, sudah berjilbab masih saja suka mencibiri kawan, sudah berjilbab… yaah, namanya juga anak SMP!

Jelang SMA saya bertekad, disamping berjilbab secara zahir, saya mesti menjadi muslimah bener2, yang berprestasi. Maka serentetan pameo miring tadi pun hilang, banyak juga yang berjilbab setelah itu__Ehm,, tapi sejujurnya masa - masa ini lebih meresahkan, kawan2. Serasa disorot semua mata. Sedikit saja salah dalam tingkah, orang2 langsung men cap negatif "para jilbaber". What an extremely social control however at that time, I'm a jilbaber and I'm proud of it!

Pengertian jilbab selanjutnya saya dapat semasa kuliah. Rupanya kampus merupakan miniatur negara. Segala aliran ada disini. Maka mulailah jilbab terkotak - kotak. Yang begini ini jilbabnya, berarti dia Salafi. Yang berpotongan bajunya, nah, dia PKS. Yang bergamis - gamis ria, itu HTI. Yang modis2, Hijabers. Yang dililit - lilit, wow anak pesantren. Ada kerudung cekik leher, ada yang hobi pakai Pashmina, ada yang selapis saja dan masih berpakaian ketat, dll.

Mirisnya, pernah seorang teman tak jadi menikah dengan seorang gadis hanya karena berbeda harokah, tak se visi dan se misi katanya..
Ada kejadian lagi. Ketika saya bergabung dalam salah satu harokah, kemudian salah seorang diantara kami 'berubah gaya berjilbab' nya meskipun masih kelihatan rapi menutup rapat, tetap saja langsung keluar komentar sumbang: dia sudah bukan "kita" lagi … saya coba gabung organisasi yang lain, komentar yang sama dilontarkan _para oknum_.

Nah. Bagaimana dengan saya? Apa saya masuk kotak? Kotak yang mana?
#sebelumnya izinkan saya senyam - senyum dulu. Soalnya ini yang mendasari saya pada akhirnya menulis catatan ini. Berawal dari ketak sengajaan saya mendengar percakapan beberapa "gadis berjilbab" yang 'mempertanyakan saya':

"jadi,, sebenarnya teh Rima itu 'apa' ya?"
"entahlah … kadang beliau modis sekali, kadang bergamis, kadang berpotongan, kadang biasa - biasa saja, yang belum saya lihat adalah beliau memakai cadar … "

__dalam hati saya tambahkan: "dan memakai you can see, rok mini, atau celana jeans …. " :D


Bagi saya berjilbab itu adalah kebutuhan, bukan sekedar simbol belaka. Bagi saya jilbab itu penutup aurat, dipakai bukan karena ikut - ikutan mode atau teman atau seorang figur __(apalagi nih ya, hanya dikarenakan untuk mendapat lelaki sholeh!)
Maka bagaimana modelnya, asalkan ia tidak transparan, tidak ketat, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, bagi saya itu sah - sah saja.

Bagi saya model jilbab yang saya kenakan mesti selaras dengan kenyamanan saya kala memakainya. Ketika saya pergi ke tempat pelacuran misalnya, saya merasa lebih nyaman mengenakan jilbab/kerudung yang dimasukkan ke dalam jaket, dengan bawahan rok jeans panjang yang tidak ketat ketimbang saya memakai gamis besar dengan jilbab lebar sampai mata kaki.
Poin yang ingin saya tekankan disini ialah:
  1. Bagi saudariku yang belum berjilbab, berjilbab saja lah. He2. Menjilbabkan hati itu sejalan dengan menjilbabkan fisik. Kalau tidak dimulai dari sekarang, ya kapan mulainya. Menunggu dapat hidayah dan panggilan hati? Mempertanyakan 'siapkah saya' itu sebenarnya sudah merupakan 'panggilan hati' ^_^
  2. Bagi yang sudah berjilbab, masih mempermasalahkan persoalan furu'iyah seputar panjang/lebar jilbab, modelnya, pakai cadar atau tak pakai cadar? Hal - hal yang para ulama pun masih berbeda pendapat tentangnya. Cukuplah Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman. Jika saudariku mengatakan, yang benar itu adalah dengan memakai cadar, atau yang paling benar itu ialah dengan memakai jilbab besar sepinggang sepergelangan tangan, atau yang benar itu ialah dengan memakai gamis, atau justru yang benar itu adalah yang dililit - lilit atau dll, seolah - olah saudariku hendak mendaulat bahwa kebenaran hanya dimiliki salah satu golongan. Untuk itu saya ketikkan kata - kata Al- Ghazali dalam Faishal at-Tafriqah bainal Islam wa az-Zindiqqah, di akhir catatan ini: "mudah - mudahan engkau sadar bahwa sikap yang hanya mengakui dan membenarkan satu pendapat saja adalah dekat kepada kekafiran dan pertentangan"
#sebo: semacam penutup kepala, bentuknya bulat, __haduh, masa ga tahu juga? Cukup clue nya segitu aja ya :v
#Etek: bibi
 

0 komentar: