Pernah dengar
ungkapan "kalaamun naas laa yantahiy?"
Komentar manusia tak
akan pernah selesai. Ini berdasar cerita seorang bapak, anaknya dan seekor
keledai. Bahwa ketika mereka berjalan, seantero kampung mengomentarinya
berbeda-beda. Ketika bapak itu naik keledai, anaknya berjalan kaki, orang-orang berkata, "ckckck, bapak tegaan ya sama anak." Ketika anaknya yang naik keledai sementara bapaknya jalan kaki, orang-orang berkomentar lagi, "ana durhaka, menzhalimi bapak." Begitu seterusnya hingga akhirnya ketika mereka menjunjung keledai pun orang-orang tetap berkomentar. (cerita selengkapnya banyak di google)
Jika ingin meneliti
bagaimana reaksi orang-orang, bersikaplah diluar kewajaran mainstream. Sedangkan kalau mau membentuk
image di depan khalayak ramai itu mudah saja: ikuti keinginan mereka. They even will judge you as an angel, guys!
Dulu, jaman saya
masih jadi aktivis (akhwat berkantong tipis :D), saya benar-benar mengesankan
diri sebagai perempuan "jual mahal" yang super sibuk memegang amanah
lebih dari 3 organisasi dan tidak peduli dengan urusan percintaan apalagi
lelaki "pura-pura serius" yang ngajak saya nikah lewat aktivitas
pacaran. Seperti dugaan saya, image saya terbentuk sebagai: perempuan ekslusif.
Itulah yang saya inginkan dan itu juga yang komunitas saya mau. Anti VMJ alias
Virus Merah Jambu. Bodoh amat soal lawan jenis, kuliah kerja dakwah jauh lebih
penting, gitu prinsipnya.
Kemudian tatkala
aktif di BEM, rajin demo dan aksi, sering protes sana-sini, men "skak
matt" lelaki dalam debat, dan menampilkan sosok perempuan emosional
syekalleee alias tak ada lemah lembutnya dengan menggebrak meja dalam rapat di
depan pria-pria sastrawan FIB bersuara lantang, saya pun tahu bahwa kemudian
saya akan digelari sebagai: feminis. (Gelar feminis ini menguap begitu saja
saat saya ambil beasiswa S2 jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam yang
notabene malah tugasnya mengcounter paham-paham sekuler).
Beda lagi jika saya
pulang ke Solok. Berhubung Papa saya gawatnya memang cukup ternama, maka saya
harus jadi anak manis. Hidup penuh dengan kontrol sosial dari masyarakat.
Mendapat pujian dan kritikan dalam waktu bersamaan. Jika saya berprestasi,
mereka akan berkomentar "Wajar, anak Buya ... " Jika saya pulang
ba'da Maghrib, nantinya akan ada remaja tanggung yang melakukan pembenaran
dengan ucapan: "anak Buya saja pulang Maghrib ndak dilarang kok
Mak..." Lalu mereka akan protes ke Papa. Lalu Papa akan membuat seabrek
aturan dan peringatan agar saya selalu tetap dianggap sebagai "anak
manis." Maka ketika kuliah saya jarang pulang. Saya (sok) sibuk dan
menyibukkan diri di kampus. Bukan saya
tak cinta keluarga, saya hanya muak kehidupan pribadi saya dikomentari
mulut-mulut tak bertanggung jawab. Mulai dari kerudung yang saya pakai hingga
lelaki mana yang kira-kira akan menjadi suami saya kelak. Yang mana selalu membuat saya curiga bahwa
lelaki di kampung saya jangan-jangan berusaha mendekati saya hanya karena ingin
mendapat cap sebagai "menantu Buya" saja. Ujug-ujug saya jadi senang
di Padang karena tak ada yang tahu bahwa saya anak Buya kecuali segelintir
kawan dekat.
Komentar manusia
memang tak pernah habis. Dulu saya dianggap jual mahal, sekarang saya dianggap
terlalu agresif. Melawan opini para lelaki di kelas yang bilang saya
'idealis-perfeksionis' alias terlalu pemilih, saya pun berusaha bersikap agak
cair pada lawan jenis. Apa yang meresahkan perempuan di usia 20 tahun ke atas?
Ketika belum ada laki-laki yang melamarnya atau malah di PHP *untungnya yang
saya alami beda dikit, modusnya tanpa kode-kodean yang bikin ke ge er an,
melainkan dikasih bangunan harapan lalu hancur oleh gempa :Ds
Saya pun jadi
nanya-nanya dong ya, kira-kira apa yang bikin lelaki ga melamar saya? Saya
introspeksi diri, apa jaman saya cuek-cuek dulu ada bahasa penolakan saya yang
bikin lelaki sakit hati? Keknya ga deh. Buktinya, yang pernah eror nembak saya
itu masih sopan kalau ketemu. (nyadar
kali yaa, udah mencintai orang yang salah, manusia split personality macam saya ini memang langka. Khuhuhuhu)
Unjuk pendapat dengan angket terselubung, para
Ustadz di kelas saya menyarankan: "atuh coba agak 'melunak' neng,
laki-laki khawatir pada wanita yang lebih cerdas dari dia, lebih tinggi
penghasilannya dari dia,dll. Bagaimana kalo neng Rima jadi Khadijah abad ini?
Glekk!! What??! Dari
dulu saya mah dikejar-kejar dan sekarang saya yang mesti ngejar-ngejar gituh???
miapaaaa -_-
"Loh apa
salahnya menawarkan diri pada orang yang setidaknya 10% akhlaknya menyerupai
Rasulullah? Status sosial Ukhti membuat minder para lelaki."
Ntar. Saya mikir ada
benarnya juga. Seseorang-yang-dulunya-berencana-menikahi-saya mundur karena itu
'kan? Karena status? "tak pantas untukmu, carilah ikhwan lain yang lebih
baik." Benar-benar gaya pencampakkan yang halus #lapingus
Maka, ketika saya
melihat ada ikhwan yang lumayan memenuhi setidaknya 5 kriteria saya: tidak
merokok, rajin ke masjid, mandiri, tidak temperamen, berkomitmen tinggi untuk dakwah. Saya pun
menggunting sedikit urat malu untuk rajin nanya-nanya dia via WA. *Sebenarnya
awalnya tetap dia yang mulai sih, dia yang add saya duluan gitu di facebook.
Benar juga kata
dunia, jodoh itu semakin dikejar malah semakin menjauh. Dari dulu makanya saya
males ngejar-ngejar 'kan? Ini gara-gara ngikutin saran Ustadz nih!
Benar saja. Saya keknya langsung dapat cap "perempuan agresif". Itu si Ikhwan jadi 'alergi' banget biacara dan ketemu saya. Emang saya bawa virus muntaber?
Saya lupa
kata-katanya seperti apa karena langsung saya hapus ketika selesai baca,
nyelekit banget bagi saya yang seumur hidup baru kali ini nyoba jadi cewek
agresif yang setengah pura-pura kebelet nikah . Intinya dia bilang "saya kurang suka akhwat
yang gimanaaa gitu." Tadinya mau saya pura-pura nanya, "gimanaaa
gitu" gimana maksudnya?
Tapi sudahlah, keknya citra
saya sudah terlanjur jelek di mata dia. *heleeh ngomongin citra...
I think it's not
necessary be closed to a person (a man) who just focus on your weakness!
Lagipula saya juga
yang gokil ngikutin saran orang lain tanpa pikir panjang. Tapi yasudahlah,
ambil hikmahnya saja. Lain kali, alih-alih mudah terpengaruh, lebih baik saya
dianggap cewek idealis perfeksionis lagi. Julukan itu lebih elegan, sizta!
0 komentar: