Original Posting: July 3, 2012 at 2:43pm
Pagi
itu awan berarak menuju gunung. Dia baru pulang berkelana dari Selatan
dan benar-benar terheran mendengar gosip katak-katak di selokan. Embun
rupanya mengaku menyukai angin! Hah!! Ini baru berita!!!
Telah menjadi rahasia umum bahwa embun dan angin itu selalu berdialektika dengan jumawa dan bertolak belakang dalam penyampaian opini (tepatnya saling 'bantai':). Jika embun mengatakan ya, maka angin akan menggeleng. Begitulah sebaliknya. Mereka nyaris tak pernah kompak. Bukan nyaris, tapi TAK PERNAH saja!
Selama ini awan pun hanya selalu mendengar gerutuan angin ketika dia menyinggung-nyinggung embun. Begitu juga hujan yang belakangan ini uring-uringan karena 'ditegur embun dengan lembut' ketika main-main di jurang.
Sebelum ke Selatan, awan sempat singgah diatas laut dan mendengar karang berbisik-bisik tentang 'keganasan embun'. Yaah, dengan kebeningannya, embun mampu 'menghanyutkan' siapa saja. Sehingga banyak yang bertekuk lutut di depan embun, dan setahu awan angin kurang senang dengan 'ketundukan dan ketaklukan'. *Kyahahaha!
Perkara embun sangat sensitif sekali. Soalnya bukan saja karena embun memang terkenal 'berwibawa', namun dia pun suka memakai intrik yang aneh-aneh dalam menjebak angin. Sehingga kadangkala angin kehabisan kata. Itu membuatnya gusar. Tapi angin tetaplah angin, yang bisa saja lari kemana-mana. Kalaupun kadang kewalahan menghadapi embun yang suka multitafsir, dia akan tetap tampil tanpa wajah hampa. Yang membuatnya tetap dipandang bijak oleh yang lain.. (*Eh, kok jadinya malah membahas angin? hahay)
Jadi kali ini awan ingin menemui embun di gunung sekedar konfirmasi dan menggali informasi (?). Istilah kerennya, tabayyun alias cek dan ricek. (Soalnya awan pernah mendengar jibril menyampaikan wahyu tentang pentingnya menguji kebenaran berita terlebih dahulu; menanyakan langsung pada si sumber berita). Selang beberapa menit, akhirnya awan menemukan embun disela-sela ilalang.
"Wahai, kawan.. Aku mendengar berita tak mengenakkan tentang dirimu. Benarkah kau telah merendahkan dirimu sendiri dengan mengaku bahwa sebenarnya engkau menyukai angin? Selama ini kau dikenal sebagai yang paling teguh pendirian, yang paling tegas menantang angin, dan………"
"Tunggu awan, silakan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu…" Awan melihat sekilas embun tersenyum simpul. Anggun.
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, Aku ingin menanyakan 3 hal saja kepadamu, wahai Awan. Pertama, apakah mengaku cinta itu merendahkan diri? Kedua, apakah kau yakin dengan keteguhan hati sendiri? Tak adakah Zat yang bisa membolak-balikkannya? "
Awan pun terdiam. Merasa 'kelihatan transparan' didepan embun yang bening.
Lama sekali ia terdiam. Berusaha mencerna pertanyaan yang dicecarkan embun. Lalu…… awan mengangguk-angguk.
Tapi sedetik kemudian menggeleng-geleng.
Kemudia mengangguk-angguk lagi. Kali ini pelan..
Embun pun tampak puas.
"Aku mengerti"
"Begitulah. Aku pun baru memahami dahsyatnya kata-kata ini: "Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan menjadi orang yang kaucintai. Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita. Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap buruk karena menyulitkan. "
Awan pun beranjak.
"Tapi embun, meski saran-saranku tak sebagus saran-saranmu, semoga kau ingat satu hal ini, jangan larut!! INGAT!! JANGAN LARUUUUUUUUUUUUT!!!!"
Akhirnya dia pun tertawa sendiri, lalu melambai.
Sang embun pun tiba-tiba berteriak kencang!
"Heeeyyy… Awaaaaaaaaaaaaan! Aku bukan embun! Aku bukan embun!!"
Terhenti sejenak, awan kembali menoleh. Barulah dia tersadar. "Hah?! Ternyata kau kabut?! Lalu mana embun?????"
"Dia menghilang…………….."
Lamat-lamat terdengar alunan yang merdu,,,,
~~selama musim belum bergulir, masih ada waktu saling membuka diri
Sejauh batas pengertian, pintu pun tersibak
Cinta mengalir sebening embun. . . .~~
Telah menjadi rahasia umum bahwa embun dan angin itu selalu berdialektika dengan jumawa dan bertolak belakang dalam penyampaian opini (tepatnya saling 'bantai':). Jika embun mengatakan ya, maka angin akan menggeleng. Begitulah sebaliknya. Mereka nyaris tak pernah kompak. Bukan nyaris, tapi TAK PERNAH saja!
Selama ini awan pun hanya selalu mendengar gerutuan angin ketika dia menyinggung-nyinggung embun. Begitu juga hujan yang belakangan ini uring-uringan karena 'ditegur embun dengan lembut' ketika main-main di jurang.
Sebelum ke Selatan, awan sempat singgah diatas laut dan mendengar karang berbisik-bisik tentang 'keganasan embun'. Yaah, dengan kebeningannya, embun mampu 'menghanyutkan' siapa saja. Sehingga banyak yang bertekuk lutut di depan embun, dan setahu awan angin kurang senang dengan 'ketundukan dan ketaklukan'. *Kyahahaha!
Perkara embun sangat sensitif sekali. Soalnya bukan saja karena embun memang terkenal 'berwibawa', namun dia pun suka memakai intrik yang aneh-aneh dalam menjebak angin. Sehingga kadangkala angin kehabisan kata. Itu membuatnya gusar. Tapi angin tetaplah angin, yang bisa saja lari kemana-mana. Kalaupun kadang kewalahan menghadapi embun yang suka multitafsir, dia akan tetap tampil tanpa wajah hampa. Yang membuatnya tetap dipandang bijak oleh yang lain.. (*Eh, kok jadinya malah membahas angin? hahay)
Jadi kali ini awan ingin menemui embun di gunung sekedar konfirmasi dan menggali informasi (?). Istilah kerennya, tabayyun alias cek dan ricek. (Soalnya awan pernah mendengar jibril menyampaikan wahyu tentang pentingnya menguji kebenaran berita terlebih dahulu; menanyakan langsung pada si sumber berita). Selang beberapa menit, akhirnya awan menemukan embun disela-sela ilalang.
"Wahai, kawan.. Aku mendengar berita tak mengenakkan tentang dirimu. Benarkah kau telah merendahkan dirimu sendiri dengan mengaku bahwa sebenarnya engkau menyukai angin? Selama ini kau dikenal sebagai yang paling teguh pendirian, yang paling tegas menantang angin, dan………"
"Tunggu awan, silakan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu…" Awan melihat sekilas embun tersenyum simpul. Anggun.
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, Aku ingin menanyakan 3 hal saja kepadamu, wahai Awan. Pertama, apakah mengaku cinta itu merendahkan diri? Kedua, apakah kau yakin dengan keteguhan hati sendiri? Tak adakah Zat yang bisa membolak-balikkannya? "
Awan pun terdiam. Merasa 'kelihatan transparan' didepan embun yang bening.
Lama sekali ia terdiam. Berusaha mencerna pertanyaan yang dicecarkan embun. Lalu…… awan mengangguk-angguk.
Tapi sedetik kemudian menggeleng-geleng.
Kemudia mengangguk-angguk lagi. Kali ini pelan..
Embun pun tampak puas.
"Aku mengerti"
"Begitulah. Aku pun baru memahami dahsyatnya kata-kata ini: "Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan menjadi orang yang kaucintai. Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita. Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap buruk karena menyulitkan. "
Awan pun beranjak.
"Tapi embun, meski saran-saranku tak sebagus saran-saranmu, semoga kau ingat satu hal ini, jangan larut!! INGAT!! JANGAN LARUUUUUUUUUUUUT!!!!"
Akhirnya dia pun tertawa sendiri, lalu melambai.
Sang embun pun tiba-tiba berteriak kencang!
"Heeeyyy… Awaaaaaaaaaaaaan! Aku bukan embun! Aku bukan embun!!"
Terhenti sejenak, awan kembali menoleh. Barulah dia tersadar. "Hah?! Ternyata kau kabut?! Lalu mana embun?????"
"Dia menghilang…………….."
Lamat-lamat terdengar alunan yang merdu,,,,
~~selama musim belum bergulir, masih ada waktu saling membuka diri
Sejauh batas pengertian, pintu pun tersibak
Cinta mengalir sebening embun. . . .~~
0 komentar: