Optimis: Karakter Orang Beriman



Diantara karakter orang yang beriman adalah at tafaul (optimis), sehingga mereka mampu menatap masa depan dengan penuh semangat dan berbaik sangka (hudznuzhan) kepada Allah SWT. Di dalam Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang urgensi sikap optimis dalam menjalani hidup dan larangan bersifat pesimis. Sebab pesimis adalah sifat orang kafir dan Allah dalam firman-Nya melarang kaum muslimin untuk berputus asa:
“Janganlah kalian berputus asa, karena sesungguhnya tidak berputus asa dari Rahmat Allah kecuali orang-orang kafir“ 

Bagaimana Al Qur’an dan Sunnah membangun semangat optimisme kaum Muslimin sehingga mereka tidak seperti manusia yang tidak memahami Islam karena sering melontarkan ungkapan pesimis?
“Apabila seseorang mengatakan semua manusia rusak, semua masyarakat rusak, makadialah yang paling rusak. Dialah yang merusak bangsanya karena membuat masyarakat menjadi pesimis”

Ternyata di dalam Al Qur’an, Allah SWT memberikan resep yang luar biasa agar setiap kita senantiasa optimis dalam menjalani kehidupa:
1. Iman yang benar. Iman yang benar akan melahirkan rasa aman sehingga seseorang akan selalu optimis. Setiap individu yang beriman selalu merasa aman karena sadar bahwa dirinya sepenuhnya berada dibawah naungan Allah. Rasa aman yang tidak hanya diresapi secara pribadi namun juga mengalir dalam keluarga dan masyarakat. Keimanan ini selanjutnya menghadirkan hidayah sehingga menjadi pribadi yang selalu benar dalam bertindak terhadap keluarga dan bangsanya.
Dalam Q.S al An’am ayat 82 Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ [٦:٨٢]
“Orang-orang yang beriman yaitu mereka yang tidak menodai keimanannya dengan kedzhaliman (tidak menodai keimanannya dengan syirik), mereka itulah orang-orang yang selalu mendapatkan rasa aman dan merekalah yang mendapat petunjuk.”

Hal ini dikarenakan orang beriman tidak akan berani melakukan dosa besar. Jika seseorang mengaku beriman maka ia tidak akan melakukan zina. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seseorang tidak akan berani berbuat zina jika ia benar-benar beriman.”
Orang beriman juga tidak mungkin berdusta. Maka jika ada orang beriman tetapi masih berbohong, bisa dikatakan bahwa imannya hanya sebatas pengakuan. Dan inilah beda antara orang beriman dengan orang munafik.

2.      At Taqwa. Rasa optimis bisa lahir jika didasari dengan ketakwaan, yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Pemberi Rahmat. Negara kita akan diberikan banyak keberkahan jika semua penduduknya beriman dan bertakwa. Kebaikan yang permanen, datang dari segala arah, dari langit dan bumi. Jika semua masyarakat negeri ini bertakwa, ketika Allah menurunkan hujan dari langit, hujan itu menjadi rahmat. Akan tetapi ketika orang-orang meninggalkan Qur’an dan sunnah, hujan pun menjadi bencana. Bumi tidak lagi bersahabat dan musibah pun terjadi dimana-mana.

Maka dalam menatap masa depan harusnya disambut dengan Iman dan Taqwa, bukan malah memperbanyak titik-titik kemaksiatan.
Dalam Q.S Al a’raf Allah telah menekankan bahwa: “seandainya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, sungguh kami akan membukakan untuk mereka barokah dari langit dan bumi … ”. Ini adalah kaidah kehidupan yang tidak akan berubah sepanjang masa dan berlaku bagi seluruh manusia. Siapapun yang beriman dan bertaqwa maka kebaikan selalu mengiringinya.

3.      Al yaqin bi wa’dillah. Yakin atas janji Allah. Janji Allah adalah sebuah keniscayaan. Janji Allah itu pasti, “barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, rezekinya tidak bisa diukur dengan gajinya”. Sebagai bukti, kita lihat para ustadz yang pendapatannya kecil, tetapi Allah memberi keberkahan anak-anak mereka menjadi anak-anak saleh berprestasi yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan Negara. Dan Allah juga telah berjanji bahwa orang-orang saleh akan mendapatkan kekuasaan  atas bumi ini. Ketika kaum Muslimin belum memimpin dunia dan memiliki kekuasaan atas musuh-musuh kafir, ketahuilah bahwa Allah tidak akan menyalahi janjiNya.  Mungkin dikhawatirkan kekuasaan justru akan disalahgunakan jika berada ditangan orang-orang beragama Islam tetapi tidak komitmen dengan Al Qur’an dan Sunnah. Orang-orang yang mengaku beragama Islam, tetapi ketika ada masalah, solusinya adalah karena kepentingan pribadi, keluarga, ataupun golongan. Padahal pengakuan itu tidak ada gunanya dihadapan Allah.
Dalam Q.S An Nisa ayat 123 Allah telah berfirman:
لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا [٤:١٢٣]
 Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
Begitulah, kehidupan ini tidak akan pernah sepi dari masalah. Bahkan masalah pun menghampiri manusia yang begitu tinggi budi pekertinya, Rasulullaah SAW. Rumah tangga Rasul pernah mendapat fitnah besar ketika peristiwa haditsul ifki. Nabi juga pernah ditegur oleh Allah dalam berdakwah (dimuat dalam Q.S ‘Abasa). Atau dalam ayat lain Nabi pun ditegur dalam perkara jihad karena memberikan izin kepada orang munafik. Akan tetapi diatas semua masalah yang menimpa beliau, Nabi diberikan solusi karena memiliki bekal iman dan taqwa. Semoga kita menjadi orang yang ditolong dalam melakukan kebaikan-kebaikan, yang dimudahkan segala urusannya oleh Allah ‘azza wa jalla. 

*Intisari ceramah Ust. Ahzami Samiun, pada tanggal 3 Januari 2014 di masjid Bank Indonesia

0 komentar: