February 18, 2011 at 11:26pm
Zaman
ini zaman dilema. Terkadang realita seolah fatamorgana, dan yang
terlihat fatamorgana malah sebenarnya merupakan realita. Orang-orang
susah menempatkan –atau lebih tepatnya ‘membedakan’- mana yang baik dan
mana yang buruk. Sungguh ironis, ditengah-tengah perkembangan teknologi
dan komunikasi yang begitu pesat, manusia malah semakin tak paham dengan
esensi dirinya, esensi mengapa ia diciptakan, dan untuk apa ia hadir
kedunia. Padahal ketika mendapat musibah, langsung menyebut-nyebut nama
Allah. Padahal ketika bumi menggeram dan esok mau ujian, rutin tahajjud
tiap malam.Zaman Ini zaman dilema. Agama yang biasanya dijadikan sandaran, kini malah menjadi mainan, umpan, atau alibi untuk melakukan kekerasan. Kebenaran pun diungkap tak lebih dari sekedar memainkan perasaan. Yang merasa dirinya ‘mapan’ dalam pengetahuan, seperti cacing kepanasan jika diminta sedikit pengajaran. Toh, hidup katanya memanglah persaingan, sejak awal menjadi janin dalam kandungan. Satu-satunya yang keluar sebagai pemenang, berhasil mengalahkan semua sel ‘pejantan’.
Zaman ini memang dilema. Yang berkuasa malah kembali ke pemikiran primitif purbakala, memakai sistem dan hukum rimba dengan menggerus uang rakyat. Yang bekerja sebagai tenaga pendidik justru terkadang tak berakhlak. Ibu-ibu hobi ngerumpi sehingga lupa mengurusi anak. Bapak-bapak terkena PHK, beralih kerja dirumah sebagai tukang masak, tukang tanak. Para ulama berkoar mereka terlalu pusing memikirkan masalah umat, dan butuh beberapa lagi ‘ummahat’. Para dermawan berwakaf hanya seekedar untuk cari nama, siapa tahu bisa diangkat menjadi wakil rakyat. Para artis yang mengejar popularitas, semakin leluasa mengumbar aurat. Preman pun tambah merajalela, entah kapan mereka ‘kan bertaubat. Siswa siswi tak mengerti dengan kurikulum yang selalu berganti, akhirnya sibuk download dan berkirim surat. Mahasiswa refreshing ke pasar tiap hari karena sudah bosan dengan dosen yang selalu datang terlambat. Dosen pun mengeluh karena gajinya selalu di rapel, sudah 5 bulan telat. Aha! Tak ketinggalan yang berjilbab malah juga ikut-ikutan melakukan pekerjaan terlaknat.
Mungkinkah dunia sudah terlalu tua sehingga zaman pun menjadi pikun? Ataukah kita yang semakin tak peduli dari hari ke hari? Seperti cerita tentang sebuah kapal yang tengah berlayar. Ada penumpang kelas ekonomi, ada penumpang kelas bisnis, dan kelas eksekutif. Tiket kelas eksekutif bisa dipakai untuk menyantap segala makanan yang ada di kapal. Minumannya pun capuccino atau energen sereal. Tiket bisnis bisa juga untuk memesan secangkir teh atau kopi. Sedangkan pemegang tiket kelas ekonomi? Mereka hanya mendapat segelas air putih. Itupun hanya untuk sekali teguk. So? Tengah malam para ekonomi’ers merasa haus, mau meminta sedikit air ke eksekutif’ers dan bisnis’ers tak dapat karena pintu mereka dikunci dan ruangannya kedap suara. Berembuklah para ekonomi’ers, akhirnya mereka melobangi kapal. Setidaknya air laut masih lebih berasa di kerongkongan.
Akibatnya kita sama – sama tahu. Kapal yang berlobang tentulah hanya bisa menunggu beberapa saat untuk tenggelam. Semua penumpang, tak peduli kelas apa, berapa harga tiketnya, tenggelam. Itukah yang kita ingin? Kerusakan moral massal? Yang akan merasakan akibatnya tidak hanya mereka yang membuat keonaran dan kejelekan. Kita semua akan ‘mengecap’ dampaknya. Bahkan anak cucu kita tujuh turunan kelak. Lalu kita akan menangisi ketidakpedulian yang terlanjur.
Akh..kapan kita bisa hidup ditengah zaman yang tak dilema??
Ada yang bilang zaman ini zaman edan. Sebenarnya, zaman kah yang edan atau kita yang sakit jiwa?
0 komentar: