::Dilematika Perempuan-Perempuan Preman::

November 21, 2012 at 1:13pm
 “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan__Rohana Kudus (1911).

Dekadensi moral yang terjadi pada kaum wanita saat ini semakin membuka mata bahwa emansipasi pun patah taji dalam meningkatkan martabat perempuan. Hal ini dikarenakan ideologi feminis yang berkembang dan penerapan kesetaraan gender di Indonesia hanya "membebek" Barat tanpa memperhatikan nilai-nilai susila yang diajarkan agama. Juga meski tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran yang 'adiluhung', segala hal berbau Barat menjadi acuan budaya masa kini. Maka berdengunglah slogan-slogan 'perempuan tertindas' yang menarik perhatian para wanita sehingga mereka phobia dengan budaya dan agama mereka sendiri, alih-alih mempelajari lebih lanjut. Slogan yang cukup provokatif karena _entah mengapa_ yang ditonjolkan adalah 'ketertindas perempuan nya' bukan malah 'bagaimana caranya agar perempuan bisa tidak tertindas'.

Jika kita melihat Barat dari kacamata film yang cukup representatif, sampai Tahun 1915, peranan wanita hanyalah sebagai manusia lemah tak berdaya yang selalu ditolong oleh lakon pria. Wanita hanyalah lakon komplementer, sebaliknya laki-laki merupakan jagoan tangguh dan pahlawan yang dielu-elukan. Kemudian  sejak dimulai pemotretan  jarak dekat (close-up), para sineas tertarik menjadikan wanita sebagai "alat hiburan" sehingga muncullah Dewi Sex yang pertama yaitu Theda Bara; yang selalu memainkan peranan sebagai pemikat hati lelaki, menikmatinya lalu memusnahkannya. Penghargaan terhadap kaum perempuan mulai naik sedikit _katanya_ ketika Tahun 1923 muncul Scott Fitsgerald dengan film-nya "Up Here from Heaven"  dibintangi oleh wanita berambut pendek, mengisap rokok dengan pipa menjadi mode yang ditiru oleh wanita-wanita Amerika.

Bagaimana penerapannnya di Indonesia? Tidak sulit menemukan 'perempuan-perempuan preman' ini sekarang. Mereka bertebaran di setiap lini. Seorang wanita berambut pendek berperan sebagai direktur perusahaan , kondektur bus dengan mulut menyemburkan asap rokok (bahkan kadang lebih lihai daripada laki-laki), wanita tukang palak di pasar, penjaga diskotik pemilik accessoris anting di lidah, anak sekolahan berambut pendek cepak dengan atau tanpa make up, bisa ditemukan dengan mudah.

Di satu sisi mungkin masyarakat terheran-heran bahkan antipati dengan kelahiran "perempuan-perempuan preman" ini. Perempuan-perempuan yang _lagi-lagi katanya_mampu mendobrak sebuah prototipe makhluk bernama "wanita". Yang selalu dikatakan lemah tak berdaya dan hanya berselindung dibalik ketiak laki-laki sebagai tulang rusuk yang bengkok. Namun disisi lain, para perempuan yang 'berhasil' menempuh "the road which is not taken" ini kadang juga bermanfaat bagi perempuan lainnya dalam berbagai keadaan. Seorang perempuan yang bekerja sebagai tukang ojek atau sopir angkot misalnya, membuat perempuan lain merasa aman dan memudahkan urusan. Di Jakarta sering ada kondektur metromini perempuan yang lebih tegas dan galak dibanding laki-laki, sehingga tidak ada penumpang yang berani untuk tidak membayar ongkos. Banyak juga perempuan ketua preman pasar yang 'pintar' menggertak sehingga anak buahnya para penjarah pun bertekuk lutut.

Keberadaan perempuan-perempuan seperti ini agaknya telah menjadi suatu keniscayaan. Dalam sejarah Islam pun ditemukan adanya para perempuan pemberani, gigih, pejuang dan penuh ketegasan. Isteri Abu Thalhah pernah menenteng senjata lalu dibenarkan oleh Nabi. As Syifa (20 H - 640 M) pada masa Khalifah Umar bin Khattab diangkat menjadi Kepala Urusan Pasar. Empat Ratu pernah berturut-turut memimpin selama hampir satu abad di Kerajaan Bhopal. Mereka adalah Qudsiyah Begum (1820-1835), Sikandar Begum (1848-1869) Syahjihan Begum (1868-1901), Sultan Jihan Begum (1901-). Ratu Sikandar Begum bahkan pernah membantu Kerajaan Inggris dalam memadamkan pemberontakan Sepoy dari kaum Hindu pada tahun 1857. Karena itulah T.W Arnold memuji - muji mereka dalam bukunya Ensyclopedia Islamica, "mereka mempunyai kemahiran seorang negarawan (politician) yang tidak kalah keahlian politiknya dari negarawan lelaki manapun. Dalam waktu 6 tahun mampu menutup hutang-hutang negara dan menjadikan hidup rakyat makmur dan stabil"

Di Indonesia juga banyak perempuan - perempuan yang 'ditakuti' para panjajah seperti Cut Nyak Dien, Malahayati , Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh, Rohana Kudus dari Sumatra Barat, Dewi Sartika dari Jawa Barat, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan, dll karena konsistensi mereka melawan monopoli penjajah dalam perekonomian maupun pendidikan.

Akan tetapi, dari kesemua perempuan-perempuan hebat yang dikenal itu, tak satupun dari mereka yang  pernah tercatat dalam sejarah berambut pendek, beranting di lidah, memakai celana hawai dengan sepatu boot apalagi merokok memakai pipa. Mereka juga memperjuangkan hak-hak mereka tapi memperhatikan norma-norma dan tuntunan, tidak hanya mengutamakan rasionalitas apalagi meniru-niru.

Dalam Al Qur'an pun tidak pernah disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki itu tidak setara. Bahkan ada hadist dengan tegas melarang perempuan menyerupai laki-laki. Karena sesungguhnya, justru dengan meniru laki-laki lah jatuhnya martabat seorang perempuan.

0 komentar: