Kemarin ni, I update status kat FB:
Banyak yg salah sangka pada para pendaki dan bertanya kpd saya, apakah "aman" ketika mendaki Gunung? Tidak dicolek2, di...... etc?
Pertama, saya tidak pernah climbing kecuali ditemani minimal satu teman perempuan. Tujuannya supaya tidak satu tenda dg laki2.
Kedua, saya baru berani mendaki setelah belajar Silat. Self defense mechanism yg tidak hanya fisik, namun juga hati. Guru sy mengajarkan, Kemampuan fisik tak banyak membantu, namun kemanapun pergi kamu aman selagi hati tetap terhubung denganNya.
Ketiga, saya paling anti berbicara mendayu-dayu, yg bisa menyebabkan lelaki berpikiran kotor. Demikian juga teman perempuan yg saya ajak mendaki. Tidak sembarangan. Perempuan manja yg lebay di blacklist saja.
Keempat, saya percaya bahwa secara naluri laki2 akan menghargai perempuan yg memelihara kehormatannya. Maka ketika mendaki, sy tak akan melepas jilbab, apapun kondisinya.
Dan alhamdulillaah, semua lelaki yg saya temui dipendakian, memperlakukan dg sangat baik. Mereka yg masak dan tak akan makan sblm perempuan makan, mereka yg mendirikan tenda, mereka yg mengingatkan utk selalu berdzikir, mereka yg membawakan carrier. Mereka yg rela tak Minum ketika persediaan air menipis. Mereka yg bolak balik mencari kayu utk api unggun kala dingin menusuk tulang.
Sungguh, sy banyak belajar itsar (mendahului org lain), ketawadhuan (kerendahan hati), dan ta'awun (saling menolong). Juga sifat "membumi", zuhud tingkat tinggi. Meninggalkan keramaian dunia sejenak utk bertafakur. In my humble opinion, para pendaki sejati adl yg paling mengamalkan "Ukhuwah".
Kodoik, 25 tahun. Nama pacar: Ira |
I jadi teringat lagi masa-masa berjaya mendaki Gunung tu. Masa bermalam kat Terminal pukul 2 dinihari, masa berjumpa kawan-kawan baru yang penuh solidariti. Adalah Kodoik, -sohib masa kecil paling baik sekampung- yang ajak I untuk mendaki puncak yang terbilang tinggi kat Jawa Barat ni. Kodoik yang pernah cinta mati sangatkan I tu? Yang pernah kata dirinya Romeo dan I ni Juliet?? Hahaha. Itu cerita jaman SMP, dah lama pun. Tak penting lagi dibahas. Dodi juga dah punya banyak pacar semenjak dia tahu I tak nak berpacar-pacaran dalam hidup ni. I hanya bersyukur saja, persahabatan kami berlanjut hingga kini. Tak ada yang lebih indah daripada persaudaraan karena Allah. Aamiin.
Sekejap .... Cerita Gunung Ciremai ni lebih seru lagi daripada cerita cinta tak jelas tu!
Ramai orang cakap, Ciremai ni dah banyak makan korban. Sebab susah air, sedangkan bagi pendaki, air adalah hal initi. Air hanya ada kat POS 1 jer, POS 2 hingga POS 7 susahlah air nak didapat. Apa pasal? Tak ada sungai,mata air, tak ada sumber air! Hingga POS 6 barulah ada air menetes sedikit demi sedikit dari stalagmit (atau disebut stalagtit?)
Tapi apa peduli I yang waktu itu menderita malang nian layaknya Zainuddin yang tak jadi berkahwin dengan Hayati.... bhuwahahaha!). I pun waktu itu bahkan dah nak mengorbankan diri kat harimau jika berjumpa. Maka tanpa pikir panjang I ikut tawaran si Kodoik tu, lagipula dia dah datang jauh-jauh dari Padang nak jumpa I. *Alamaaak, ge er minta ampun! Padahal si Kodoik memang dah hobi mendaki sejak jaman ketumbar.
Bujuk-Bujuk Suhaila, gadis Thai nan segak sangat, untuk ikut menemani I mendaki. Tak mungkin lah I pergi sendiri kan? Untunglah dia pun bersemangat. I suruh Su lari-lari tangga asrama dari lantai satu hingga lantai 6, dia mau jer demi pendakian memayahkan ni. Demikianlah jika sesuatu dilakukan dengan cinta. *Asik
with bg Bimo, not take a bath yet, at 2 AM. |
Berangkat ke Bandung dari Rambutan, disana bertemu bang Bimo, salah satu anggota adventure komunitasnya Kodoik.
sampai dinihari berjumpa kawan-kawan baru dari Karawang di Cileunyi. Kami pun berkenalan satu sama lain. Awal berkenalan I pun dah rasa nyaman meski tampang mereka macam preman (hehehe, peace bray!). Su pun malu-malu takut jer. Kenalan tanpa salaman ala kami. Mereka maklum je meski awalnya terperangah, pasti. Langsung menoyor bahu si Kodoik sambil ketawa-tawa (saya terjemahkan maksudnya: gilaaaa luuuu, kita bawa cewek jilbaber??)
Peduli apa I. Kan I dah cakap tadi. I malah waktu itu bertekad mau setor nyawa, tak takut apapun. (Pesan moral: patah hati membuatmu menjadi tak takut mati). Beughhh!
Ba'da Subuh, kami langsung naik minibus menuju kaki Gunung Ciremai. Berkali-kali ganti minibus, I dah lupa apa saja nama jalannya. Salah satunya Cipanas tentu karena kami naik dari jalur Majalengka. Terakhir kami naik mobil carry bak terbuka ke Kampung Apui, sebab jalan mendaki bukit meliuk-liuk, bukan lagi aspal. Perjalanan yang sungguh memacu adrenalin, terjal dengan kemiringan hampir 70 derjat, rasa nak jatuh ke dalam jurang mobil bak terbuka tu.
Sampai di POS 1, kami langsung mendaftarkan diri. Untunglah kami masih bisa masuk rombongan pendaki. Sebab ditakutkan air di POS 6 tak cukup, jumlah pendaki yang naik dibatasi. Tak mungkin lah kami mendirikan tenda dan bermalam hanya untuk menunggu pendaki lain turun kan? Kami semua dah tak sabar memulai petualangan ni.
Tampang kawan sependakian. ki-ka: Me, Kodoik, Suhaila, Mushlih, Asep, Ismail, Komar, bang Maman |
Kami pun berdoa dipimpin Ismail yang katanya Ustadz dari Pesantren.
Menurut panduan yang kami baca di salah satu blog sebelumnya, jalur Majalengka termasuk yang lumayan dibandingkan Linggarjati.
Awal pendakian dimulai melewati perladangan dan hutang produksi selam 3-4 jam kita akan sampai di Berod. Disini kita akan menemui pertigaan, kita ambil yang ke arah puncak). Setiba di Berod perjalanan kita teruskan menuju ke Simpang Lima (Perempatan Alur), perjalanan memakan waktu sekitar 0,5 jam dari Berod, lalu di teruskan menuju Tegal Mersawah. Di Tegal Mersawah perjalanan langsung kita teruskan menuju ke Pangguyangan Badak. Disini kita bisa beristirahat. Perjalanan kita teruskan 2 jam lagi kita akan sampai di Tegal Jumuju (2.520 m dpl). Dari Tegal Jumuju perjalanan kita teruskan menuju ke Sanghyang Rangkah, Selama 2 jam perjalanan. Di Sanghyang Rangkah menuju terdapat lokasi pemujaan yang sering di pergunakan oleh penduduk di sekitar lereng untuk upacara memohon keselamatan. Dari sini perjalanan kita teruskan menuju ke Gua Walet (2.925 m dpl), selama 4 jam perjalanan. Gua walet merupakan bekas letusan yang berbentuk terowongan. Disini kita juga bisa mendirikan tenda untuk bermalam. Esok harinya kita bisa menuju ke Tepi Kawah (3.056 m dpl) dan Langsung ke puncak, selam 3 jam perjalanan. http://candradityaa.blogspot.com/2014/02/misteri-gunung-ciremai.html
Total perjalanan diprediksi 12 hingga 16 jam, tergantung kecepatan Tim. Jalanan hingga POS 3 masih senang2 jer. Masih bersiul-siul. Menuju POS 4 jalan mulai terjal, hari pun makin sore, nafas mulai tak beraturan. Kami berkali-kali berhenti.
Asal tau jer, di Gunung dikau tak boleh sembarangan berhenti. Mesti ingat waktu, ingat jarak, ingat cuaca, ingat kawan, ingat persediaan barang, ingat.................................... Allah, pasti.
Kami shalat di jalan. Lepas sekali shalat berjamaah di jalan setapak menjelang POS berikutnya tu, saya datang bulan. Aiiiiiih Su juga, jadilah kami bergembira ria di satu sisi sebab tak mesti berpayah tayamum untuk shalat, tapi di sisi lain juga nyeri perut tak tertahankan. Cuma I dan Su ingat-ingat lagi cerita Bunda Asma' bint Abu Bakar ra pernah mendaki juga, mengantar makanan untuk ayahnya dan Rasulullah di Gua Tsur, dalam keadaan hamil tua! *Apa I bilang tadi? Cinta mampu membuat kekuatanmu berkali lipat.
Dua kali I mendaki Gunung di Jawa Barat ni, dua kali juga pas lagi haidh. Padahal dalam perkiraan, belum masuk tanggal sebenar. Entah apa maksud Allah SWT dibalik semua itu.
Entah pos keberapa yang kami lewati, I tak tahu lagi. Mata dah berkunang-kunang tapi kaki tetap harus dilangkahkan. Malam merayap. Kami pun langsung memasang headlamp. I dan Su tak bawa. Kami dapat pinjam. Cerita-cerita hantu apapun tak mampu mengalahkan semangat kami untuk terus berjalan. Sebab tantangannya, cepat bergerak atau mati. Jika kami lambat, persediaan makanan sudah menipis, kami akan kelaparan di jalan. Belum lagi dingin menyayat tulang. Dingin yang bisa buat semua badan beku hingga dikau tak sadar bahkan jika darah telah mengalir dari kedua telinga.
Setelah pos 6, tidak ada lagi jalan mendatar. Kami benar-benar mendaki batu. Di sela-sela batu I melihat makam In memoriam. Berdoa sejenak untuk pendaki yang telah tidak pulang dengan selamat.
Sekitar pukul 1 dinihari, dengan sisa-sisa tenaga melawan angin yang menderu, kami akhirnya sampai di Puncak. Tapi masalah baru muncul, Su terserang Hypotermia! badannya mulai kaku, detak jantung melemah, tekanan darah menurun, dan hampir tak sadarkan diri jika semua tak saling heboh menguatkannya untuk tetap sadar. Tak ada jalan lain selain masukkan dalam sleeping bag, dan.... (sekadar pengetahuan, cara ampuh penanganan hypotermia di puncak Gunung adalah dengan melepas semua pakaian, dan berpelukan dalam sleeping bag supaya panas suhu tubuh bisa mengalir)
Para lelaki saling tatap dan bertanya pada I dengan bahasa Isyarat karena gigi telah bergemerutuk: "what should we do?". I bilang dalam menggigil, jangan lepas kerudungnya, biar I jer yang masuk sleeping bag. Sungguh, sejujurnya jari-jari I pun dah mulai kaku. Dingin Ciremai tak sekadar menusuk tulang, anginnya juga kencang menerbangkan. Pikiran juga mulai kalut memikirkan apa kata orang Tua Su nanti, apalagi jika Su tidak bisa bertahan... As you can imagine, I bakal masuk koran membawa Gadis Thailand ke tempat berbahaya.
"Su, Sadar, Su! Terus Dzikir! Terus Dzikir!"
Para lelaki berusaha membuat api unggun dengan melawan angin basah, merebus air hangat dalam hydration bag dan ditempelkan ke tubuh Su. Lalu membantu I dan Su masuk ke sleeping bag, berusaha membuat Su tetap sadar. Jangan sampai bicaranya jadi ga jelas. Alhamdulillaah.. perkembangan! Suhu tubuh Su mulai naik... Disaat darurat seperti ini memanglah kita menjadi semakin dekat pada Allah saja rasanya.
Bahagianya ketika bangun melihat Su tersenyum. I melepas emergency thermal blanket, sleeping bag, jaket berlapis-lapis yang entah punya siapa saja, dan baru nyadar bahwa ternyata kita rehatnya di tepi tebing. Rupanya para lelaki sudah bangun dari Subuh menikmati sunset.
Kita pun tertawa mengingat gawatnya tampang semalam. Mensyukuri nikmat hidup dari Puncak Ciremai, 3078 mdpl. Sekitar tahun 1521-1530, Sunan Gunung Jati diyakini pernah bertapa disini.
Bila
kantong tidur cukup lebar, maka panas badan orang yang masih sehat
dapat membantu si penderita secara langsung, yaitu dengan tidur
berdampingan di dalam satu kantong tidur. Kalau mungkin, dua orang masih
sehat masuk ke dalam kantong tidur rangkap dua, kemudian si penderita
di selipkan di tengah tengahnya, - See more at:
http://www.janu-jalanjalan.com/2014/04/mengenal-macam-macam-penyakit-di-gunung.html#sthash.EVGoyKFL.dpuf
Bila
kantong tidur cukup lebar, maka panas badan orang yang masih sehat
dapat membantu si penderita secara langsung, yaitu dengan tidur
berdampingan di dalam satu kantong tidur. Kalau mungkin, dua orang masih
sehat masuk ke dalam kantong tidur rangkap dua, kemudian si penderita
di selipkan di tengah tengahnya, - See more at:
http://www.janu-jalanjalan.com/2014/04/mengenal-macam-macam-penyakit-di-gunung.html#sthash.EVGoyKFL.dpuf
0 komentar: