Belakangan saya merasa terlalu banyak dituntut oleh ... entahlah. I'm exhausted from trying to be stronger than I feel.  Terlalu banyak pekerjaan, terlalu sedikit waktu. Terforsir untuk mikir dan kelelahan fisik sekaligus, benar-benar menguras energi.

Well, saya perempuan hamil yang bekerja. I enjoy my job, having good relationship with my husband. Everything seems perfect before, until it becomes problematic somehow.

Pekerjaan saya tidak sampai membuat baju basah oleh keringat layaknya pekerjaan seorang kontraktor. Saya hanya tinggal duduk tenang di ruangan ber-AC (rusak), melayani mahasiswa pasca yang konsultasi (itupun kadang-kadang datang), sekali-kali jalan ke gedung belakang, dan jika tidak libur, beberapa kali harus masuk kelas untuk mengajar.

Tetapi ini pekerjaan yang sering membuat saya berpeluh dingin. Berpacu dengan waktu, butuh pemikiran mendalam, sekaligus ketelitian dan kecermatan tingkat tinggi. Bukannya saya menganggap pekerjaan saya lebih berat dari yang lain, tetapi saya tak ingin ada yang menganggap remeh apa-apa yang "behind the scene".

Dan sekali lagi, saya sedang hamil.
Curhat sedikit, (lha dari tadi bukan curhat?) ini kehamilan pertama saya, dan saya benar-benar baru tahap belajar menyesuaikan diri. Orang-orang boleh berkata, "ah jangan terlalu cengeng lah, baru segitu aja, nanti anaknya manja, bla ... Bla ... Bla ..." Tapi hanya saya yang benar-benar tahu dan merasakan perubahan yang saya alami. Kehamilan tiap orang berbeda-beda, I think. Tidak bisa dipukul rata, mentang-mentang ada yang pernah hamil lalu meremehkan dengan bersikap seolah merasakan apa yang dijalani orang lain.

Mereka bilang kehamilan harus dijalani dengan tenang. Tetapi, "Bu Rima, sebentar lagi akreditasi"; "Mba Rima, OJS nya belum bisa dibuka"; "Bu Rima, kapan hasil review tesis keluar? Saya mau sidang."; "Bu Rima, terjemahan jurnal saya sudah?"; "Ms. Rima, modul kuliah kapan jadi?"; "Ustadzah, beberapa kader masih belum mengirim laporan perkembangan akademik dan aktivitas dakwah."

Mereka bilang tidak usah merasa terbebani, tetapi menjudge dengan nada meremehkan ketika sesekali saya mengeluh.
Mereka berkata saya bebas ngampus sesuka hati saya,  namun: "Bimbingan sudah Bab berapa?" ... dan seterusnya ... dan seterusnya.

Tenang, saya telah bertekad untuk tidak teriak, "aaaaaaaaaaaaaarrghhh".

Lagipula sekarang saya sedang sadar bahwa dari tadi saya hanya sibuk membicarakan mereka, lupa menunjuk diri sendiri. And a negative mind will never give you a positive life.

Padahal saya berkeinginan melahirkan seorang mujahid sekaligus mujadid. Dan saya sadar betul, seorang ulama yang intelek tidak dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang suka mewek.

Padahal saya berdoa anak saya kelak menjadi seorang Imam teladan dan figur pemersatu, dan saya tahu bahwa untuk menjadi seperti itu dia harus punya ibu yang tidak hobi menggerutu.

Padahal saya berkata saya ikhlas menjalani semua karena Allah, tetapi keluh kesah lebih mendominasi ketika tantangan tak ada agaknya secuil ujian para shahabiyah.

Emosi saya, belum se-stabil emosi aisyah meredam semua keresahan dalam doa merdunya yang tercatat pada al Qur'an, "
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11).

Fisik saya, belum sekuat Asma' binti Abu Bakar ra yang berani mendaki bukit terjal Gua Tsur dalam kondisi hamil tua demi kesuksesan perjalanan hijrah Rasulullah SAW dan ayahanda tecinta. Ia yang ketika hamil juga pernah mendapat keras tamparan Abu Jahal yang naik pitam.
“Di mana Muhammad dan ayahmu?” tanya Abu Jahal siang itu.
“Mengapa kau bertanya kepadaku? Sejak kapan seorang laki-laki Arab memberitahu kepada anaknya ke mana ia pergi. Bukankah Abu Bakar biasa berdagang ke banyak tempat tanpa memberitahuku?”
“Di mana Muhammad dan ayahmu sekarang?” Abu jahal bertanya sekali lagi.
“Bukankah sudah kujawab bahwa Abu Bakar bisa pergi ke mana saja. Apalagi Muhammad yang bukan ayahku,” demi mendengar jawaban itulah, Asma mendapat tamparan di kepala hingga berdarah dan anting-antingnya lepas.

Juga, mental saya tak semembaja Maryam a.s ketika sendirian terengah ditengah padang pasir. Menyeret perut hamilnya yang makin menua hingga melahirkan Isa a.s tanpa dampingan suami disisi.

Begitulah.


Generasi muslim yang tangguh, memang terlahir dari Ibu yang tak banyak mengeluh. Apapun ujiannya, lelah akan lelah mengejarnya sebab ia percaya jaminan Allah itu ada.
PESAN UNTUK ADIK-ADIK SAYA YANG MAU KULIAH 
(Selain Adik Saya Boleh Baca)

Sebelumnya SELAMAT DATANG DI MINIATUR NEGARA untuk ketiga adik saya yang akan memasuki jenjang persekolahan selanjutnya: Ahmad Intan Suwandi di ISI Padang Panjang, Clarissa Ruby Fortuna di ITB, dan Atin di Unand. Mungkin ada saja yang akan nanya: loh, kok mereka bisa barengan? Itu pertanyaan tidak penting. Sama tidak pentingnya menanyakan mengapa Atan tak lulus SBMPTN sampai 2 kali trial and error padahal dia juara. Yang penting setelah 2 tahun ini merambah belantara Jabodetabek, si Atan sudah nyadar bahwa "Hidup itu keras, kawan, dan kita kalah keras." Yang penting juga bahwa adik-adik saya akan kuliah dijurusan yang mereka inginkan, tanpa propaganda dan rekayasa pihak manapun. (Sori, jadi agak melantur).

Selayaknya seorang kakak, saya senang dicurhati adik, ditanyai adik seolah-olah saya tau segala hal dan mampu mengatasi semua masalah tanpa masalah (yekhh, iklan!). Maka beberapa hal tentang perkuliahan berikut ini saya harap bisa membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan baru. Maklum, mereka kan masih lugu. Masih bisa ditipu-tipu. Beda sama saya yang kadang suka menipu diri sendiri. ‪#‎bhuawahahahadduh‬, jangan dicontoh!

Mengapa saya post disini? Mengapa tidak japri adiknya langsung? Ini dikarenakan saya sedang berniat baik. Biar orang-orang tahu bahwa saya ini sangat perhatian pada adik-adik saya. Saya sebenarnya resah dan gelisah bila mereka tak lagi berkirim kabar. Pikiran saya jadi aneh-aneh. Jangan-jangan sudah ada pula yang lebih perhatian pada adik-adik saya itu melebihi saya, misalkan dengan sering mengirim SMS: "hai, dah mam blom?"
Jadi, Dik ... (Mohon simak baik-baik. Akak kalian yang ngomong ini seorang Kandidat Doktor lho ‪#‎kedipmata‬)

Pertama: APAPUN YANG KALIAN LAKUKAN, KALIAN HARUS TENANG. Jika tak tenang, ambil wudhu', shalat dan baca Qur'an lalu pikirkan lagi: "ini saya lagi ngapain?" Nah, segitu saja. Tak usah mikir yang berat-berat. Adakalanya otak itu harus pasrah dan tunduk, bahwa ia tak lebih hebat dari penciptaNya. Tenang itu bukan berarti harus selalu tertawa dan pura-pura tampak bahagia. Tapi tenang berarti selalu mampu melibatkan Allah dalam semua kerja. Begitu juga bila ingin membuat tugas. Ambil wudhu', shalat dan baca Qur'an. Nurani fitrahnya suci. Bila ditimbun dosa dan menghitam, apapun yang dikerjakan entah mengapa malah bikin sesak dada. Iman dan Ilmu itu selalu berkaitan. Kalau kata Buya Hamka; "Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri."

Kedua: DENGAN SIAPAPUN BERTEMAN, JADILAH IKAN. Maksudnya, TETAP TAWAR SEKALIPUN DI LAUTAN ASIN. Jangan bercermin di air keruh. Bukan berarti kalian harus berteman dengan orang yang itu-itu saja, kelompok itu-itu saja. Itu namanya membatasi diri. Tentang ini Akak anggap kalian sudah cukup mengerti. Soalnya Akak lihat kalian punya banyak teman. Mudah-mudahan bukan teman berhaha-hihi saja. Ngumpul-ngumpul disini, tapi di akhirat saling memaki.

Ketiga: PINTAR TAK ADA GUNA, BILA TAK BERMANFAAT UNTUK SESAMA. Ingat ini, pintar dan egois itu beda tipis. Apa yang Akak sampaikan ini telah pernah pula disampaikan bang Fauzan Fadri (perkataan yang membuat Akak "mainok-inok" sampai sekarang): "Kalau kita masih merasa cukup dan puas saja dengan masa depan anak kandung sendiri, atau keluarga sendiri saja, rasanya kita belum cukup untuk menjadi manusia bagus. Rima, bg sedih sekali melihat banyaknya orang-orang terdidik, intelektual, berpekerjaan bagus, mapan, tapi mereka hanya sebatas puas dengan dirinya sendiri saja. Mereka itu orang-orang yang tercerabut dari hati nuraninya sendiri sebagai manusia." silakan catat itu. Itu Akak kutip tanpa pengubahan seperlunya. Maka, adik-adikku tercinta, jangan jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang) saja. Aktif lah dalam segala aktifitas yang memberi kemanfaatan bagi orang banyak. Sekecil apapun itu. Kita ini dihadirkan di dunia bukan hanya untuk memikirkan diri sendiri. Seperti yang Akak bilang tadi, kampus itu miniatur negara. Jumlah orangnya tak lagi sekadar ratusan seperti jumlah kalian di SMA. Beragam gaya bahasa, bervariasi cara berpikir, banyak organisasi, banyak hal yang bisa dilakukan. Maka janganlah terkungkung dalam sempitnya tempurung.

Terakhir, JANGAN KEHILANGAN SELERA HUMOR. Orang-orang baper lebay alias mudah tersinggung biasanya karena selera humor yang mulai menghilang. Sehingga semua nasehat, masukan, kritik, maupun sekadar kata-kata pengingat, dianggap sebagai "serangan". Adakalanya kita pun harus menertawakan diri sendiri. Atas keseriusan kita yang tidak pada tempatnya. Atas kebodohan-kebodohan yang kita lakukan. Asal jangan menertawakan kegagalan orang lain, kasihan lah dia. Sudah jatuh, tertimpa tangga, menginjak tahi ayam pula.
Dunia ini hanya kesenangan yang menipu. Why so serius? Seriuslah untuk perkara-perkara yang membawa kebaikan, kemaslahatan. Fokus pada perkara ukhrawi, meski dengan tidak melupakan bagian kita di dunia juga. Yang sedang-sedang saja lah. Untuk duniawi yang hanya kita singgahi sekejap mata ini, jangan sampai frustrasi pula kita. Allah itu mencukupi segala kebutuhan kita, tapi memang, Dia tidak mencukupi gaya hidup. Sekali lagi. BIAYA HIDUP ITU TIDAK SEBERAPA. BIAYA GAYA HIDUP, ITU YANG MAHAL. Jadi, jangan banyak gaya. Baru S1 saja sudah banyak gaya, apalagi nanti kalau sudah S3. ‪#‎self‬ reminder

Segitu dulu ya. Nanti kalian bosan. Maaf, hari ini Akak jadi nyiyir. Soalnya kata seseorang nyiyir itu tanda sayang.

JUMU'AH MUBARAKAH!
‪#‎cipika‬ cipiki dari jauh
Matahari mulai turun perlahan seiring senja yang menyemburat di kejauhan. Kita berbincang menunggu detik-detik pergantian siang malam. Seperti biasanya bila kau pulang sebelum Maghrib menjelang.
"Ah, mengapa ya dunia itu kelihatan indah dimata? Padahal kita tahu akhiratlah yang abadi." Kataku sambil bersandar dibahumu. Kau diam saja menikmati tarikan nafas perlahan.
Aku menengadah dan melihat kau tersenyum. Lalu menatapku lamat-lamat.
"Karena dunia ada didepan mata, Sayang. Sementara akhirat itu jauuuuh sekali." Diluar, rintik sedang mengecupi bumi. Iramanya berpadu dengan desau pepohonan menari dihalaman. "Seumpama koin yang menutupi keindahan rembulan." Katamu sembari memejamkan mata. Entah karena lelah, atau sama sepertiku. Asyik menyimak nyanyian alam yang syahdu.

"Padahal kita tahu, koin lebih kecil daripada rembulan. Tetapi begitu koin kita letakkan didepan mata, maka rembulan pun tak lagi kelihatan." Kau asyik dalam imajinasimu sendiri, membuat lingkaran dengan telunjuk dan ibu jari lalu menggerakkan tangan seolah-olah sedang menjauhkannya dari mata. "Maka koin itu harus tetap di genggaman, Sayang. Agar kita bisa selalu menatap keindahan rembulan."

Aku tercenung. Tentang dunia ini, sebenarnya sudah sering kita membahasnya. Tetapi entah mengapa kadang hati tetap saja lalai dan larut didalam kesibukannya.

Aku pun pernah mendengar petuah bijak Ibn Qayyim al Jauzi, “Dunia ini ibarat bayangan, kejar dia dan engkau tak akan dapat menangkapnya. Balikkan badanmu darinya, dan dia tak punya pilihan lain kecuali mengikutimu.”

Kita tahu kelak dunia akan ditinggalkan, namun mengapa larut dalam semunya kesenangan?
Kita tahu kelak dikubur sendirian, namun mengapa amalan kita abaikan?
Kita tahu kelak akan mati, namun mengapa dendam dengki masih bersemayam dihati?

Kita sama-sama telah tahu, namun mengapa kadang masih tertipu?

"Yuk, Shalat Maghrib."

Sekarang gantian aku yang menatapmu lamat-lamat. Ah, kau. Tahukah kau apa yang menggelisahkan hatiku? Aku khawatir kecintaanku padamu melebihi cintaku padaNya. Bila itu terjadi, maka kau lah koin yang menutupi keindahan rembulan. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdlHylNZg97P2unf1ahvHJsip-O0UT3AHjVhayf9Jo41FvdJQBxNIlfQ8SqQLrFkiWjqpW-tao974ZmcCJLsK0hESA2AfF47XQ-Vv5Fg3JRGRRnEv44gJKplgsql9LqkY1BR7TSl2qCUk/s1600/pasangan-hidup.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdlHylNZg97P2unf1ahvHJsip-O0UT3AHjVhayf9Jo41FvdJQBxNIlfQ8SqQLrFkiWjqpW-tao974ZmcCJLsK0hESA2AfF47XQ-Vv5Fg3JRGRRnEv44gJKplgsql9LqkY1BR7TSl2qCUk/s1600/pasangan-hidup.jpg
Sentul Alaya kala senja
August 2016
Kantin samping Rektorat. Dua mahasiswa. Lelaki dan perempuan, saling berhadapan. Beberapa kawan datang, menyapa dan berbincang. Tetapi mereka asyik dalam diskusi sendiri. Mengeluhkan dosen pembimbing skripsi yang mungkir janji: menyuruh datang pagi-pagi lalu tiba-tiba pergi. Yang satu menenangkan, lalu mengalihkan percakapan. Tentang metode pendidikan, homeschooling, konsep dan teori baru.

Seperti Dejavu.

Setahun yang lalu...

Kantin samping Rektorat. Dua mahasiswa. Lelaki dan perempuan, saling berhadapan. Beberapa kawan datang, menyapa dan berbincang. Tetapi mereka asyik dalam diskusi sendiri. Yang satu menyimak khidmat. Topik percakapan yang serampangan. Tentang kekacauan dunia pendidikan, perbandingan mazhab, isu-isu politik, permasalahan antar Hizb, sejarah, tokoh berpengaruh, dan Sherlock Holmes. Hingga ...

"Kamu jadi pulang Ramadhan ini?"
"Ya, begitulah."
"Kuliahmu?"
"Selesai. Tinggal penelitian. Bisa kukerjakan di rumah."
"Ng, soal ... menikah? Kamu bukannya sedang ta'aruf dengan seorang Ikhwan?'
"Selesai juga."
"Loh kenapa?"
"Ga jadi. Ga cocok."

Mereka diam. Waktu seolah membeku. Ditingkahi bunyi minuman yang diseruput pelan. Mahasiswa lain dimeja berbeda juga berbincang. Namun entah membicarakan apa.

"Aku ikut ke Padang."
Perempuan itu menatap lelaki dihadapannya dengan pandangan sebiasa mungkin, "...maksudmu?"
"Masih ada tiket kan?"
"Kamu..? Bukannya kamu bilang sedang menyukai seorang akhwat?"
"Ah, please forget it."
"What?"
"I need you ... "

Perempuan itu, berusaha menegakkan tubuh yang terasa kaku.
"Apa alasanmu?"
"Perlukah alasan? Oh ya! Pengen gila-gilaan!" Lelaki itu cengengesan.

Cukup sudah. Terpangkas semua pertanyaan. Sepertinya pembicaraan mereka harus ditutup sekarang juga.
"No, no! Please change your mind. I-said-you, please change your mind!"
"Aku akan bicara dengan papamu. Terserah diterima atau ditolak, itu urusan nanti."
"Aku mau pulang. Besok pagi, I hope you have changed your mind!"

***

Kantin samping Rektorat. Perempuan itu masih duduk disitu. Mengamati dua mahasiswa yang semakin seru berdiskusi, bahkan berdebat hangat. Mahasiswa lain mulai banyak berdatangan. Menepuk bahu si lelaki, mengerling pada si perempuan, "Assssooy asyik banget ngobrolnya. Sadar ga sih, kalian itu cocok! Udah Bro, tunggu apalagi? Nikahin aja!"

Perempuan itu tersenyum. Meraba perut yang sekarang membuncit. Kantin yang sama, meja yang sama. Rasa yang berbeda. Aaah, benar juga. SkenarioNya memang tak terduga, dan lebih luar biasa.

Maka sesungguhnya kita tak perlu mengarang jalan cerita. SkenarioNya sudah ada.

Dalam hidup ini, ada 3 tipologi manusia berdasarkan caranya membalas setiap perlakuan yang ia terima. 
Pertama, manusia luar biasa. Ialah mereka yang selalu membalas apapun yang datang padanya dengan kebaikan. Diperlakukan dengan jahat sekalipun, tetap membalas dengan kebaikan apalagi bila ia diberi kebaikan. Pada orang ini aku terkagum-kagum.
Kedua, manusia biasa -pada umumnya-, ialah mereka yang membalas setiap perlakuan sesuai dengan apa yang ia terima. Bila diperlakukan dengan baik, ia akan membalas dengan kebaikan. Dan bila diperlakukan dengan buruk, ia pun membalas dengan keburukan. Inilah manusia kebanyakan.
Ketiga, manusia yang selalu membalas setiap perlakuan orang lain padanya dengan kejahatan. Bahkan sekalipun diperlakukan dengan baik, ia tetap menampiknya dengan kasar. Guruku berkata, tak perlu mencela orang-orang seperti ini. Justru harusnya kita kasihan pada mereka. Mereka perlu didoakan. Lagipula, apa jangan-jangan kita sendiri kadang juga bersikap sama?

***
Itulah yang kudiskusikan dengan Hujan sampai larut tadi malam. Supaya kami jangan sampai termasuk tipe ketiga. Dan supaya aku dan Hujan saling mengingatkan sehingga bisa menjadi tipe pertama. Supaya kami mampu menahan diri untuk tidak terus-menerus berada pada level kedua. 

Berusaha menjadi pribadi yang mampu mengambil hikmah dari apa yang terjadi setiap hari. Berusaha memahami perlakuan yang kami terima dan bertekad untuk saling mengingatkan agar tak lagi mudah terpancing segala hal negatif di hidup ini... 
Seperti yang dinasehatkan Ustadz Rahmat Abdullah: "Dalam bermuamalah dengan manusia, dua hal yang harus engkau ingat dalam hidup ini. Kebaikannya padamu dan keburukanmu padanya. Dan dua hal pula yang harus engkau lupakan. Kebaikanmu kepadanya dan keburukannya kepadamu." Hanya itulah cara untuk menjadi sebenar-benar manusia berbahagia. Dengan lebih mengingat aib diri sendiri ketimbang menghitung dosa-dosa orang lain. That's why, I love this quote (by Salim A. Fillah):

membersamai orang-orang shalih
memang perintah Allah
memang keniscayaan bagi ikrar taqwa
tetapi meletakkan harapan atau menggantungkan kebaikan diri padanya
pada sosok itu adalah kesalahan dan kekecewaan
seorang sahabat berkata padaku
“aku ingin menikah
dengannya… hanya dengannya..”
aku bertanya mengapa
“agar ia menjadi imamku
agar ia membimbingku
agar ia mengajariku arti ikhlas dan cinta
agar ia membangunkanku shalat malam
agar ia membersamaiku
dalam santap buka yang sederhana”
“ahh… itulah masalahnya,” kataku
dan dia kini tahu bahwa khawatirku benar
bahwa sosok lelaki penyabar yang dia kenal
juga bisa marah, bahkan sering
bahwa sosok lelaki shalih yang dia damba
kadang sulit dibangunkan untuk
shalat subuh berjama’ah
bahwa lelaki yang menghafal juz-juz Al-Qur’an itu
tak pernah menyempatkan diri
mengajarinya a-ba-ta-tsa…
“ahh… itulah masalahnya”
semakin mengenali manusia
yang makin akrab bagi kita
pastilah aib-aibnya,
sedang mengenali Allah
pasti membuat kita mengakrabi kesempurnaanNya
maka gantunglah harapan dan segala niat untuk menjadi baik
hanya padaNya
hanya padaNya…
jadilah ia tali kokoh yang mengantar pada bahagia dan surga
Awan. Dari dulu ia selalu berkelana dan berubah bentuk. Samudra tak pernah tahu, apa yang sebenarnya sedang Awan cari. Awan tampak selalu asyik melanglang buana. Samudra ingin Awan menetap. Samudra ingin mengajaknya bisa selalu saling tatap bersama. 


Tapi Awan tak bersyukur dengan apa yang Samudra perjuangkan. Padahal Awan tahu, Samudra sedang berusaha meraihnya, dan untuk naik ke langit itu tidak mudah. Samudra mesti menyusun strategi, sementara Awan ingin buru-buru. Samudra pun mulai jengah dengan sikap Awan yang belakangan suka mengeluh. 


Awan juga mengungkit-ungkit cerita lamanya dengan Pelangi. Samudra tidak suka Awan seperti itu, Samudra merasa lucu melihat Awan jadi penuh iri dan cemburu. Yang ia tahu, Awan selalu bergembira sebelumnya. 


Sikap Awan benar-benar tak menentu. Kadang ia memutih bagai kapas, kadang menguning bagai emas saat diterpa matahari, dan ada masa Awan terlalu keras pada dirinya sendiri. Samudra hanya ingin Awan menjadi dirinya sendiri. Samudra ingin Awan tahu, ia pun ingin membahagiakan Awan. Dengan berbagai cara. 


Samudra juga lelah berusaha memenuhi tuntutan sekeliling. Ikan-ikan mengejeknya, Angin mendesaknya, Hujan mempertanyakannya. Samudra muak. Sementara Awan semakin tak menentramkan. Samudra berpikir, ia tak mampu membuat Awan bahagia. Awan justru semakin terpuruk ketika bersamanya. Maka ada baiknya ia melepaskan Awan. Menyakitkan memang, melihat Awan tak mengerti dengan apa yang sedang ia perjuangkan. Lama-kelamaan yang ada antara ia dan Awan hanya kesalahpahaman. Mungkin benar juga, jarak mereka terlalu jauh hingga susah memahami satu sama lain. Mungkin ia memang tidak tepat untuk Awan. 


Samudra tidak ingin melihat Awan semakin menderita. Samudra tidak tahan bila Awan semakin menghitam, sebab itu pertanda tangisannya akan segera memenuhi bumi. Samudra paling tidak tahan melihat Awan menangis. Tetapi ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Samudra bingung, hanya bisa mengamuk. Mengamuk pada dirinya sendiri. Ia tak peduli lagi jika Awan memilih pergi.  
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMAn4dGOa0sdkgP0IV7-o6Yv1h6jX57ZyUqf_GQwoIv2EGW4llkgbw8lYxlIeO4CcBaabEEukCD0rd4ha_hCGTCduMDroyW4AmlHnUhXcslYBpOyKB_oq8aOxnFeDbk5MDhdslsRR8w9U/s1600/samudra%5B1%5D.jpg



Samudra mengamuk. Laut yang tenang tiba-tiba membadai. Awan tak berkutik. Hanya bisa diam menatap Samudra dari kejauhan. Seperti yang dulu-dulu. Awan hanya bisa menatap Samudra dari kejauhan. Dan Samudra tidak pernah sadar, betapa Awan mengaguminya dalam diam. Mengamati kala Samudra riak, tenang, maupun bergelombang. 


Sebab Samudra selalu mengagumi Pelangi. Sekalipun di langit ada awan maupun siluet, tatapan Samudra hanya tertuju pada Pelangi. Meskipun Pelangi hanya bisa muncul sesekali. Pelangi juga tak terlalu mengindahkan Samudra. Pelangi direpotkan banyak hal di kahyangan, dan hanya datang saat hujan telah usai. 

Sejak itu Awan pun berkaca. Awan tak mungkin menggantikan posisi Pelangi di hati Samudra. Pelangi terlalu indah untuk ditiru. Awan memang memiliki kemampuan untuk meniru bentuk apapun, tetapi tidak bisa menghadirkan warna. Pelangi memiliki banyak warna yang awan tak punya.
Maka Awan kemudian menghibur diri dengan berkelana. Seperti yang sudah-sudah. Awan berusaha menjauhi laut. Awan naik ke Gunung, padang pasir, menuruni lembah. Awan berusaha menjauhkan diri dari Samudra. Di perjalanan, Awan bertemu pengembara. Pengembara mengajak Awan bertualang bersamanya. Jauh di lubuk hatinya Awan membatin,”mengapa bukan Samudra yang mengajaknya mengembara bersama?” Tetapi Awan berusaha menepis rasa.  Samudra dan Awan memang tak diciptakan untuk bersatu. Terlalu panjang jarak membentang. 

Tetapi kemudian Samudra memanggilnya kembali. Samudra butuh teman untuk bercerita. Awan bergegas meninggalkan pengembara. Lagipula sebenarnya pengembara tak terlalu butuh awan. Dan Awan bahagia, bahagia meski hanya sekadar menatap Samudra yang berbinar-binar menceritakan kisahnya dengan Pelangi. Bagi Awan, melihat Samudra bersemangat saja sudah cukup. Langit mengatakan Awan bodoh, tapi Awan tak peduli. Sementara Hujan, selalu mendoakan Awan dan Samudra bersatu. Sebab nothing is impossible. Awan hanya bisa tersenyum, tetapi mengaminkan doanya dalam hati.  Awan tahu, ia tak patut berharap banyak. Pesona Pelangi menutupi pandangan Samudra. Pelangi selalu terlihat indah, sementara Awan selalu berubah bentuk. 

Semakin mengenal Awan, Samudra pun tahu ternyata Awan hanya punya dua warna: hitam dan putih. Awan tak selalu menenangkan jika dipandang. Samudra tak bisa terima jika awan menghitam. Samudra ingin awan selalu putih. Padahal, hanya jika menghitam lah awan bisa mengecup Samudra dengan cara turun dalam rintik. Entah mengapa, Langit juga menuduh Awan memanipulasi rasa Samudra pada Pelangi. Langit menusuk Awan dengan sabda, “pagar memakan tanaman.” Padahal Awan tidak pernah tega bila Pelangi tersakiti. Perlahan Awan merasa tertekan. Memang sejak Samudra lebih sering bersama Awan, Pelangi jadi jarang muncul. 

Awan pun mulai menuntut Samudra mengumumkan kebersamaan mereka karena ingin tahu respon Pelangi yang sebenarnya. Jika ternyata Pelangi benar-benar mencintai Samudra, Awan akan mundur. Sebab bagi Awan, kebahagiaan Samudra jauh lebih penting. Namun Samudra tak mau. Samudra tak peduli apa yang dirasakan Awan,  baginya Awan hanya sedang baper. Sementara Awan mulai menganggap Samudra tidak punya perasaan. Samudra tak pernah benar-benar mencintai Awan. Awan hanya menjadi bayang-bayang. 

Lama kelamaan Awan merasa dituntut untuk menjadi Pelangi. Awan menjadi pemurung, dan sering menghitam. Kilat di langit menyambar-nyambar dengan dahsyat. Karena itulah, Samudra pun mengamuk. Menatap Awan dengan benci. Sedangkan Awan, semakin takut kehilangan Samudra untuk kesekian kali. Cintanya pada Samudra menjadikannya buta dan khawatir berlebihan.

setaniler.heck.in

http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTMX-aG3qLYb5-whuFqH-PwousGPPLIDYBCGjsJJpqXbsYQf5A
Suatu hal yang memenuhi pikiran saya belakangan ini, entah mengapa Film Gangster dan the Man from U.N.C.L.E bisa tayang berbarengan di Cinema 21. Apakah kebetulan?  
Film Gangster saya tonton karena rekomendasi sohib yang penasaran melihat akting Dian Sastro berkelahi. 

Sementara film The Man from U.N.C.L.E , setting tahun 1960-an, merupakan film pertama yang saya tonton tanpa didahului rasa skeptis. Biasanya sebelum masuk bioskop, saya akan mencari data-data terlebih dahulu mengenai film yang akan ditonton. Setidaknya dengan mengingat iklan yang ditayangkan pada film sebelumnya. Namun entah disebabkan law of attraction atau apa, film ini menarik perhatian saya pada pandangan pertama sehingga mau menyerahkan Rp 30.000,- pada kasir di Cinema 21, Bogor Trade Mall. Mungkin lantaran disutradarai oleh Guy Ritchie yang sebelumnya sukses memikat melalui Sherlock Holmes fenomenal itu. 
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRh6TZ84NfHWr2_vCScdajHX7zaesIdcg1rpMHTJC3TRG2QBMx3
diculik dari www.thehollywoodnews.com

Alur ceritanya sederhana, namun memuat makna tentang intrik politik, dan persuasive. Film ini mengajak penonton untuk menciptakan perdamaian dunia, melalui acting agen CIA (diperankan oleh Henry Cavill) dan KGB (Armie Hammer) yang terpaksa bekerjasama menghentikan organisasi kriminal. Organisasi dibawah komando Vinciguerra ini tengah menahan dan memaksa seorang ilmuwan Jerman membuat bom. Sebelum menjadi rekan satu tim, dua spionase yang sangat cerdas ini hampir saling bunuh untuk mendapatkan informasi dari anak gadis ilmuwan tersebut (Alicia Vikander).

Pertama, film ini memiliki genre yang sama: action-comedy. Dua-duanya memuat dialog-dialog dan adegan yang mengocok perut. Ada adegan dimana kedua lawan bertemu di kafe, mengaku datang sendiri namun ternyata masing-masing membawa bodyguard. 

Kedua, dalam film ini perempuan diperlihatkan lemah dan sama-sama harus diselamatkan. Gangster' mengisahkan seorang pria (Hamish Daud) yang mencoba mencari jati diri dan orangtua kandungnya ke Jakarta. Tetapi dalam perjalanannya, dia bertemu seorang cewek yang berusaha kabur dari perjodohan dan dikejar para gangster, pesuruh ayahnya sendiri. The Man from Uncle juga sejak awal dibuka dengan perebutan Gabby, anak perempuan ilmuwan Germany. 

Ketiga, film ini memuat pesan: hormati lawan. Lihat saja bagaimana gaya gangster maupun spionase berbicara dan mengenal lawannya.
Illya Kuryakin: Napoleon Solo, the CIA's most effective agent.
Napoleon Solo: Illya Kurakin: KGB, the youngest member to join and pass in three years. 

Yang mengesalkan dari film ini, penjahatnya seorang wanita yang bersembunyi dibalik wajah cantik. Memang sih, sudah lumrah seperti film-film spionase lainnya. Akan tetapi, saya berpikir Guy Ritchie menawarkan sesuatu yang berbeda. Tetapi semoga kekesalan saya tidak mengurangi objektifitas para pembaca untuk mengatakan bahwa film ini bagus dan layak ditonton.
In this life, the hardest thing to do is to be a great woman like Ummi. A great lover who loves sincerely. A great mom with ten complicated children and very naughty. A great friends who will listen all your stories enthusiastically. She is the one who wake up earlier to prepare all our need in the morning, then sleep after all of us falling in our dreams.  She is the one who will check our bags after school then listen to our complaints patiently. Then she will also attend the meeting of her party, met the TPA/MDA children in Surau Gudang, be a MTQ's official, then ba'da Maghrib she's still teaching. 
Everyday.
Yea, everyday without having a bone to pick.

Now, she is gladly accompany his lover in hospital. Frequently back to house checking the children, then go to hospital again.

Ah, Ummi... You are so naive. Remember when I asked you a silly question, "When will your time's off? Never you tired working inside and outside the home? you can say I'm quit, coz to earn the living is Papa's obligation."

You just smile. Then said, "Allah mentakdirkan Ummi menikah dengan Papa, one of the complicated man in the world. Apa artinya hidup tanpa berkarya, berusaha, dan membantu Papa? Terlebih lagi, apa artinya hidup tanpa mengajarkan al Qur'an? Bayaran lelah jika Ummi ikhlas itu sudah pasti, just worry yourself. What the best thing you've done in your life ? Can you be proud in the afterlife?

Lelah aku meneladanimu, Ummi ... 







10:20 PM

Hai self! Belakangan hidupku menjadi tidak mudah. Aku mencari-cari penyebabnya, sampai menulis catatan ini barulah aku tahu memang ada yang bermasalah. Padahal Amal yaumi ku baik-baik saja. Aku tetap konsisten melaksanakan dhuha 4 raka'at per hari, tetap tilawah 1 juz per hari, tetap berinfak selagi sempat. Tetapi, ada yang kurang. Ada yang mengganjal. Something weird, unspoken. Aku galau. Resah dan gelisah. Baper memang.Terlalu banyak hal-hal yang kukhawatirkan. Dan itu menggerogoti jiwaku. Memenuhi pikiranku sampai aku tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Yea, I knew that I think too much...

Hal yang paling parah dari semuanya: aku tak lagi bisa bermesraan denganNya. He seems too far to be reached. Semua kewajiban sebagai hambaNya memang kulakukan, tetapi hanyalah sebagai rutinitas. Rasanya pun biasa-biasa saja. Tak ada rasa dahsyat sehabis shalat. Tak ada rasa lega sehabis berpuasa. Tak ada senyum sumringah setelah bersedekah. Tak ada rasa tenang setelah melantunkan bait-bait suci al Qur'an.

Lalu, aku membaca kata-kata itu dalam sebuah buku. Judulnya membuatku tertarik untuk duduk sejenak. "Hidupkan Hatimu". Sederhana, namun aku memandang buku itu lamat-lamat dan beberapa jeda. Seolah harta karun yang kutemukan setelah mencari berhari-hari, padahal buku itu telah lama tertonggok disana. Ditulis oleh Dr. 'Aidh al-Qarni,

"Penyimpangan dan ketergelinciran seseorang kepada jalan yang dibenci Allah memang banyak penyebabnya. Jiwa yang kotor, kesukaan mengikuti hawa nafsu, panjang angan-angan, dan banyak menganggur tanpa kegiatan positif dan bermanfaat, merupakan pemicu timbulnya penyimpangan tersebut. Keadaan lalai dan ketidaksadaran kita akan terjadinya penyimpangan ini, tentu membuat iman kita menjadi merosot dan melemah, sehingga dosa bukan menjadi pertimbangan utama kita berbuat sekehendak kita. Manisnya iman tidak akan kita rasakan lagi karena pengaruh perbuatan menyimpang kita dari jalanNya cukup mendominasi sebagian sisi kehidupan kita. Nuansa kehidupan menjadi tidak indah, karena setiap saat dipenuhi dengan kesedihan yang membuat dada terasa sempit. Berbagai problem kehidupan pun datang menghadang seiring terhalangnya mendapatkan rezeki yang halal, bahkan sebagian hati manusia cenderung menjauh akibat sepak terjang kita yang terkadang membuat hati dan perasaan mereka tidak berkenan. Semua ini tentu membuat hati kita menjadi keras, sulit untuk menerima kebenaran, dan menjadikan hubungan kita dengan Allah renggang. Bila sudah demikian, tentu sepanjang usia yang kita jalani menjadi sia-sia, bahkan hidup menjadi tiada arti, belum lagi pertanggungjawaban yang harus kita hadapkan kepada Allah atas semua perbuatan kita kelak pada hari dimana semua perbuatan harus dipertanggungjawabkan. "

Ah, Rabbi...
Aku terlalu asyik bermesraan dengan selainMu, sehingga aku kehilangan kemesraan bersamaMu. "Tamparan"Mu keras sekali, Kau hilangkan wibawaku dalam sekejap, dalam pandangan diriku sendiri. Sakit sekali melihat tampilan kemunafikan diri sendiri. Sakit sekali ketika mengajak orang untuk berbuat baik, namun tak yakin padamu karena aibmu tlah ditampakkan padanya.  Sakit sekali ketika dakwah jadi tak ampuh karena dosa yang telah menjadi bumerang. Memercik air di dulang, mengenai muka sendiri. Tungau di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Tapi tak apa, biarlah sakit di dunia daripada kelak disiksa di neraka.

Jangan hukum aku sehingga larut dalam maksiat, Rabbi... Apapun akan kulakukan agar Engkau kembali ridho padaku. Maka bantulah hatiku, agar kuat meninggalkan apa-apa yang memang sejak dulu Engkau larang. Jangan biarkan hati ini selalu melakukan pembenaran atas tindaka-tindakan yang melewati batas...


Yaa muqallib al quluub...

Aku merindukan sosok itu, sosok polos dan lugu yang tak mempan diuji dengan virus merah jambu.
Sosok yang hatinya hanya terisi dakwah, bukan ungkapan-ungkapan cinta bermuatan sampah.
Sosok yang Kau mudahkan hatinya terpaut pada majelis dzikir dan pengajian, bukan yang dilalaikan oleh rasa segan.
Sosok yang Engkau segerakan untuk melakukan kebaikan, bukan yang selalu menunda-nunda dan panjang angan-angan.
Sosok yang Engkau pilih mengemban amanah, bukan yang beralasan dengan segala cara untuk menghindar dan menjauh padahal sejatinya butuh.

Ah, Kekasihku... Betapa malu aku menyebutMu kekasihku. 
Tetapi aku akan tetap mengatakan ini sekalipun tidak Engkau akui.

Sekali lagi aku menangis dan mengemis, "Janganlah Engkau biarkan hatiku tertawan pada orang yang hatinya tidak terpaut padaMu ..." 


Ampuni hamba, ya Rabb ... Bukankah rahmatMu teramat luas dan kasih sayangMu meliputi segala sesuatu?

Bolehkah aku kembali menujuMu, ya Allah? Dalam kondisi seperti sekarang ini?
Sekalipun banyak yang telah hilang, aku tetap tidak ingin menjadi orang yang terbuang ...

Yaa muqallib al qulub... Tsabbit qalbii 'ala ad diinika. Wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu...

Terkadang aku merasa bosan bila berada di dekat orang-orang yang membicarakan cinta.
Bahasan yang sangat tak mengasyikkan.
Mungkin karena itulah cinta memang tak perlu dibahas.

Sepintar apapun dirimu menjelaskan komposisi secangkir kopi, apa gunanya jika berbicara di depan orang yang tak pernah meminum kopi?
Atau sekalipun ia rajin minum kopi, kupikir rasa yang dia seruput tak akan sama dengan rasaku.

Ah, Jika cinta masih bisa dibahas
Kurasa itu bukan cinta.


Diantara karakter orang yang beriman adalah at tafaul (optimis), sehingga mereka mampu menatap masa depan dengan penuh semangat dan berbaik sangka (hudznuzhan) kepada Allah SWT. Di dalam Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang urgensi sikap optimis dalam menjalani hidup dan larangan bersifat pesimis. Sebab pesimis adalah sifat orang kafir dan Allah dalam firman-Nya melarang kaum muslimin untuk berputus asa:
“Janganlah kalian berputus asa, karena sesungguhnya tidak berputus asa dari Rahmat Allah kecuali orang-orang kafir“ 

Bagaimana Al Qur’an dan Sunnah membangun semangat optimisme kaum Muslimin sehingga mereka tidak seperti manusia yang tidak memahami Islam karena sering melontarkan ungkapan pesimis?
“Apabila seseorang mengatakan semua manusia rusak, semua masyarakat rusak, makadialah yang paling rusak. Dialah yang merusak bangsanya karena membuat masyarakat menjadi pesimis”

Ternyata di dalam Al Qur’an, Allah SWT memberikan resep yang luar biasa agar setiap kita senantiasa optimis dalam menjalani kehidupa:
1. Iman yang benar. Iman yang benar akan melahirkan rasa aman sehingga seseorang akan selalu optimis. Setiap individu yang beriman selalu merasa aman karena sadar bahwa dirinya sepenuhnya berada dibawah naungan Allah. Rasa aman yang tidak hanya diresapi secara pribadi namun juga mengalir dalam keluarga dan masyarakat. Keimanan ini selanjutnya menghadirkan hidayah sehingga menjadi pribadi yang selalu benar dalam bertindak terhadap keluarga dan bangsanya.
Dalam Q.S al An’am ayat 82 Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ [٦:٨٢]
“Orang-orang yang beriman yaitu mereka yang tidak menodai keimanannya dengan kedzhaliman (tidak menodai keimanannya dengan syirik), mereka itulah orang-orang yang selalu mendapatkan rasa aman dan merekalah yang mendapat petunjuk.”

Hal ini dikarenakan orang beriman tidak akan berani melakukan dosa besar. Jika seseorang mengaku beriman maka ia tidak akan melakukan zina. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seseorang tidak akan berani berbuat zina jika ia benar-benar beriman.”
Orang beriman juga tidak mungkin berdusta. Maka jika ada orang beriman tetapi masih berbohong, bisa dikatakan bahwa imannya hanya sebatas pengakuan. Dan inilah beda antara orang beriman dengan orang munafik.

2.      At Taqwa. Rasa optimis bisa lahir jika didasari dengan ketakwaan, yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Pemberi Rahmat. Negara kita akan diberikan banyak keberkahan jika semua penduduknya beriman dan bertakwa. Kebaikan yang permanen, datang dari segala arah, dari langit dan bumi. Jika semua masyarakat negeri ini bertakwa, ketika Allah menurunkan hujan dari langit, hujan itu menjadi rahmat. Akan tetapi ketika orang-orang meninggalkan Qur’an dan sunnah, hujan pun menjadi bencana. Bumi tidak lagi bersahabat dan musibah pun terjadi dimana-mana.

Maka dalam menatap masa depan harusnya disambut dengan Iman dan Taqwa, bukan malah memperbanyak titik-titik kemaksiatan.
Dalam Q.S Al a’raf Allah telah menekankan bahwa: “seandainya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, sungguh kami akan membukakan untuk mereka barokah dari langit dan bumi … ”. Ini adalah kaidah kehidupan yang tidak akan berubah sepanjang masa dan berlaku bagi seluruh manusia. Siapapun yang beriman dan bertaqwa maka kebaikan selalu mengiringinya.

3.      Al yaqin bi wa’dillah. Yakin atas janji Allah. Janji Allah adalah sebuah keniscayaan. Janji Allah itu pasti, “barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, rezekinya tidak bisa diukur dengan gajinya”. Sebagai bukti, kita lihat para ustadz yang pendapatannya kecil, tetapi Allah memberi keberkahan anak-anak mereka menjadi anak-anak saleh berprestasi yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan Negara. Dan Allah juga telah berjanji bahwa orang-orang saleh akan mendapatkan kekuasaan  atas bumi ini. Ketika kaum Muslimin belum memimpin dunia dan memiliki kekuasaan atas musuh-musuh kafir, ketahuilah bahwa Allah tidak akan menyalahi janjiNya.  Mungkin dikhawatirkan kekuasaan justru akan disalahgunakan jika berada ditangan orang-orang beragama Islam tetapi tidak komitmen dengan Al Qur’an dan Sunnah. Orang-orang yang mengaku beragama Islam, tetapi ketika ada masalah, solusinya adalah karena kepentingan pribadi, keluarga, ataupun golongan. Padahal pengakuan itu tidak ada gunanya dihadapan Allah.
Dalam Q.S An Nisa ayat 123 Allah telah berfirman:
لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا [٤:١٢٣]
 Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
Begitulah, kehidupan ini tidak akan pernah sepi dari masalah. Bahkan masalah pun menghampiri manusia yang begitu tinggi budi pekertinya, Rasulullaah SAW. Rumah tangga Rasul pernah mendapat fitnah besar ketika peristiwa haditsul ifki. Nabi juga pernah ditegur oleh Allah dalam berdakwah (dimuat dalam Q.S ‘Abasa). Atau dalam ayat lain Nabi pun ditegur dalam perkara jihad karena memberikan izin kepada orang munafik. Akan tetapi diatas semua masalah yang menimpa beliau, Nabi diberikan solusi karena memiliki bekal iman dan taqwa. Semoga kita menjadi orang yang ditolong dalam melakukan kebaikan-kebaikan, yang dimudahkan segala urusannya oleh Allah ‘azza wa jalla. 

*Intisari ceramah Ust. Ahzami Samiun, pada tanggal 3 Januari 2014 di masjid Bank Indonesia