Belakangan
saya merasa terlalu banyak dituntut oleh ... entahlah. I'm exhausted from
trying to be stronger than I feel.
Terlalu banyak pekerjaan, terlalu sedikit waktu. Terforsir untuk mikir
dan kelelahan fisik sekaligus, benar-benar menguras energi.
Well, saya
perempuan hamil yang bekerja. I enjoy my job, having good relationship with my
husband. Everything seems perfect before, until it becomes problematic somehow.
Pekerjaan
saya tidak sampai membuat baju basah oleh keringat layaknya pekerjaan seorang
kontraktor. Saya hanya tinggal duduk tenang di ruangan ber-AC (rusak), melayani
mahasiswa pasca yang konsultasi (itupun kadang-kadang datang), sekali-kali
jalan ke gedung belakang, dan jika tidak libur, beberapa kali harus masuk kelas
untuk mengajar.
Tetapi ini
pekerjaan yang sering membuat saya berpeluh dingin. Berpacu dengan waktu, butuh
pemikiran mendalam, sekaligus ketelitian dan kecermatan tingkat tinggi.
Bukannya saya menganggap pekerjaan saya lebih berat dari yang lain, tetapi saya
tak ingin ada yang menganggap remeh apa-apa yang "behind the scene".
Dan sekali
lagi, saya sedang hamil.
Curhat
sedikit, (lha dari tadi bukan curhat?) ini kehamilan pertama saya, dan saya
benar-benar baru tahap belajar menyesuaikan diri. Orang-orang boleh berkata,
"ah jangan terlalu cengeng lah, baru segitu aja, nanti anaknya manja, bla
... Bla ... Bla ..." Tapi hanya saya yang benar-benar tahu dan merasakan
perubahan yang saya alami. Kehamilan tiap orang berbeda-beda, I think. Tidak
bisa dipukul rata, mentang-mentang ada yang pernah hamil lalu meremehkan dengan
bersikap seolah merasakan apa yang dijalani orang lain.
Mereka
bilang kehamilan harus dijalani dengan tenang. Tetapi, "Bu Rima, sebentar
lagi akreditasi"; "Mba Rima, OJS nya belum bisa dibuka";
"Bu Rima, kapan hasil review tesis keluar? Saya mau sidang.";
"Bu Rima, terjemahan jurnal saya sudah?"; "Ms. Rima, modul
kuliah kapan jadi?"; "Ustadzah, beberapa kader masih belum mengirim
laporan perkembangan akademik dan aktivitas dakwah."
Mereka
bilang tidak usah merasa terbebani, tetapi menjudge dengan nada meremehkan
ketika sesekali saya mengeluh.
Mereka
berkata saya bebas ngampus sesuka hati saya,
namun: "Bimbingan sudah Bab berapa?" ... dan seterusnya ...
dan seterusnya.
Tenang, saya
telah bertekad untuk tidak teriak, "aaaaaaaaaaaaaarrghhh".
Lagipula
sekarang saya sedang sadar bahwa dari tadi saya hanya sibuk membicarakan
mereka, lupa menunjuk diri sendiri. And a negative mind will never give you a
positive life.
Padahal saya
berkeinginan melahirkan seorang mujahid sekaligus mujadid. Dan saya sadar
betul, seorang ulama yang intelek tidak dilahirkan dari rahim seorang perempuan
yang suka mewek.
Padahal saya
berdoa anak saya kelak menjadi seorang Imam teladan dan figur pemersatu, dan
saya tahu bahwa untuk menjadi seperti itu dia harus punya ibu yang tidak hobi
menggerutu.
Padahal saya
berkata saya ikhlas menjalani semua karena Allah, tetapi keluh kesah lebih
mendominasi ketika tantangan tak ada agaknya secuil ujian para shahabiyah.
Emosi saya,
belum se-stabil emosi aisyah meredam semua keresahan dalam doa merdunya yang
tercatat pada al Qur'an, "
“Ya Rabbku,
bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku
dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11).
Fisik saya,
belum sekuat Asma' binti Abu Bakar ra yang berani mendaki bukit terjal Gua Tsur
dalam kondisi hamil tua demi kesuksesan perjalanan hijrah Rasulullah SAW dan
ayahanda tecinta. Ia yang ketika hamil juga pernah mendapat keras tamparan Abu
Jahal yang naik pitam.
“Di mana Muhammad
dan ayahmu?” tanya Abu Jahal siang itu.
“Mengapa kau
bertanya kepadaku? Sejak kapan seorang laki-laki Arab memberitahu kepada
anaknya ke mana ia pergi. Bukankah Abu Bakar biasa berdagang ke banyak tempat
tanpa memberitahuku?”
“Di mana Muhammad
dan ayahmu sekarang?” Abu jahal bertanya sekali lagi.
“Bukankah sudah
kujawab bahwa Abu Bakar bisa pergi ke mana saja. Apalagi Muhammad yang bukan
ayahku,” demi mendengar jawaban itulah, Asma mendapat tamparan di kepala hingga
berdarah dan anting-antingnya lepas.
Juga, mental
saya tak semembaja Maryam a.s ketika sendirian terengah ditengah padang pasir.
Menyeret perut hamilnya yang makin menua hingga melahirkan Isa a.s tanpa
dampingan suami disisi.
Begitulah.
Generasi
muslim yang tangguh, memang terlahir dari Ibu yang tak banyak mengeluh. Apapun
ujiannya, lelah akan lelah mengejarnya sebab ia percaya jaminan Allah itu ada.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances